Ditangani wanita yang tepat, suasana kantor itu
tampak nyaman. Selayaknya cahaya maka cahayanya memancar sedemikian
indah dan di dealer Alila Apuji Retta adalah sumber cahaya keindahan
itu. Ketukan sepatu hak tingginya setiap naik-turun tangga kantor
laksana ritme patah-patah bass yang menenangkan hati. Tangannya seringan
tangan peri nan baik hati, selalu memberi bagi tangan-tangan yang
meminta. Matanya teduh memberi teladan, tak pernah kecewa melihat
penolakan. Bibirnya bagai bunga merah, menggugurkan serbuk-serbuk
senyum, tapi wajah tak pernah cemberut. Suaranya laksana aliran angin
tak bertepi, melenakan jika musim adalah senja kemarau. Keindahannya
seperti telaga dimana tiap kayuh kaki unggas bergetar dalam pusar
gravitasinya.
Namun, semakin tinggi pohon tegak akan ada saja
terpa angin mencoba mengguncangnya. Saat dirasa semua sudah berjalan
baik, gangguan dan cobaan kecil biasanya akan datang sebagai tantangan.
Itulah selintas aroma yang berhembus di kantor, aroma keculasan, namun
pagi itu masih Apuji sikapi dengan santai. Kejahatan itu tercium, dari
seekor angsa yang coba-coba bodoh menyebar racun busuk di telaga. Dalam
pikiran Apuji, hal yang seharusnya tak perlu terjadi. Di pagi yang
khianat itu perasaan Apuji memang sempat miris saat mendengar ada anak
buahnya seperti itu, seperti bersiasat dan bekerja mengikuti selera
sendiri. Kelakuan seperti itu bagi Apuji bagai terpaan angin sahara yang
datang tiba-tiba, hembusannya terasa akan membawa pusaran pasir dan
debu prahara. Tapi Apuji masih menahan diri. Di ruangannya ia enggan
menelpon Noor Salman, si angin sahara, alias si angsa bodoh, yang meniup
ketenangannya itu. Noor Salman adalah salah satu kepala cabang yang
memimpin pos cabang dealer Alila di daerah Timur Propinsi. Ketika Apuji
menerima laporan tindakan Noor Salman, wanita itu berusaha tak berpikir
apa-apa seolah tindakan anak buah yang mengusiknya itu tidak pernah
terjadi. Tapi pagi itu telepon dari Okan menggetarkan ruangannya,
sesuatu yang jelas tak bisa Apuji hindari.
“Selamat pagi, Pak!” Apuji menyambut telepon Okan dengan sikapnya yang biasa tenang.
“Pagi!” terdengar suara khas Okan. Tapi kali ini lebih keras dan berat.
“Kamu tahu kenapa saya jadi tolol menelpon kamu sepagi ini? Saya bahkan
jadi malas beranjak dari rumah karena memikirkan sengketa yang tak
perlu seperti ini. Kamu tahu kenapa?”
“Saya tahu, pak. Staf
gudang sudah berikan laporan detilnya ke saya. Ini pasti masalah Noor
Salman. Sebenarnya kami hanya saling keliru dan saya mengakui ini salah
saya,” Apuji memejamkan mata saat mengucapkan kalimat-kalimat itu.
“Oke, jangan terulang. Tidak pada tempatnya seorang kepala cabang yang
notabene menjadi urusanmu mengatur mereka tiba-tiba datang pagi buta tak
diundang ke rumah saya hanya untuk mengeluh bahwa kamu telah sengaja
memperlambat barang permintaannya. Jangan salahkan dia jika akhirnya
saya ijinkan mengambil sendiri barang-barangnya di gudang tanpa kamu
tahu. Apa sudah kamu periksa barang-barang yang dibawanya?”
“Sudah, Pak.”
“Oke. Ingat Apuji, ada baiknya kamu pahami lagi bahwa semua kepala
cabang di Alila berada di bawah pengawasanmu. Tugasmu memantau kinerja
mereka, termasuk memantau apa-apa saja kebutuhan mereka. Jika saya harus
ikut repot mengurus mereka, apa perlunya kamu!” Lalu Okan menutup
teleponnya.
Apuji hanya tercengang mendengar kesimpulan okan
bahwa ia memperlambat permintaan barang dari pos cabang Noor Salman.
Namun wanita itu tak ingin mendebat nuraninya. Ia menyandar rileks ke
kursi. Mengatur napas. Dengan sikap santai ia coba tenang seolah tak
terjadi apapun. Ia coba cegah kekecewaanya timbul. Apapun yang datang
mengganggu, bagi Apuji ketentraman di kantor di atas segala-galanya. Di
Alila, di tamannya yang sedang bersemi indah ini, tak ingin ia timbulkan
keinginan menghukum bunga-bunganya yang bersalah menjadi gulma.
Semenit kemudian Tina muncul membawa secangkir cream moka
kesukaan Apuji. Setelah menghidangkannya di meja perempuan kantin itu
berlalu dari ruangan. Apuji mencicipi mokanya. Tak lama ia ikut keluar
meninggalkan ruangan dan menyusuri lorong lantai dua yang terhubung ke
sebuah ruangan bercat abu-abu. Di ruang abu-abu yang bersekat kaca ia
lihat Toni sedang memberi arahan ke timnya. Apuji hanya melewati ruangan
itu. Ia kemudian melintas di depan ruangan lain. Di ruangan anak-anak srikandi itu dilihatnya juga sedang berlangsung meeting tim. Apuji akhirnya singgah di ruangan Polo. Dilihatnya lelaki itu sedang santai.
“Polo, bagaimana rencana penjualan hari ini?” Apuji duduk di hadapan
anak buahnya yang bertubuh longsor dan berpipi tembem itu.
“Banyak, Bu.” Polo menjawab enteng. Kemudian ia menyodorkan setumpuk
SPPK – Surat Permohonan Penjualan Kendaraan—ke atasannya itu. “Ini semua
tinggal ditandatangani, Bu. Ini pending penjualan kita kemarin. Motornya harus dikirim semua hari ini.”
Apuji sekilas saja memeriksa tumpukan SPPK itu, lalu ia begitu saja menandatangani semuanya.
Tak lama tiba-tiba terdengar Polo mengeluhkan sesuatu. “Sekarang Noor
Salman banyak berjualan di dalam kota, Bu. Padahal dia sudah punya area
sendiri di Timur.”
“Pol, jika bicara jangan asal. Mana
mungkin Noor yang areanya di daerah jualannya di dalam kota. Jangan
sering menuduh tanpa bukti. Ingat, kita semua satu tim. Jangan
menimbulkan hal-hal yang bisa menciptakan perpecahan. Pesaing-pesaing
kita di luar sana justru akan sangat senang jika melihat tim kita
pecah.”
“Memang, saya tahu itu. Saya tahu banyak dealer
pesaing mulai sakit gigi melihat penjualan kita yang spektakuler. Tapi
soal kelakuan Noor Salman, ini fakta tak bisa dibantah, Bu.” Polo
mengutak-atik laptopnya sesaat. Lalu ia mengarahkan monitor laptopnya ke
hadapan Apuji. “Ibu bisa lihat data ini. Sudah dua minggu ini Noor
masuk ke pasar kami. Ibu lihat di data yang saya blocking warna biru, itu semua data-data konsumen tim Noor Salman di kota ini, sebagian besarnya dia dapat dari menabrak order saya.”
“Kok bisa, Pol?” Apuji tercenung. “Kalau dia ambil penjualan di dalam kota, berarti dia bermain dengan budget diskon yang besar? Seingat saya diskon-diskon penjualan kreditnya hingga kemarin masih sesuai aturan. Mana mungkin saya aprove jika diskon untuk penjualan kredit yang diajukannya melampaui batas aturan.”
Polo tersenyum kecil. “Ah, di dunia marketing otomotif seperti ini
semuanya bisa diatur, Bu. Bisa saja untuk sementara Noor memakai dana
talangan pribadinya untuk memperbesar diskon ke broker-broker hingga
para broker tertarik untuk berpaling kepadanya.”
“Lalu, dia sendiri yang rugi, dong?”
Polo tersenyum lagi. “Ah, mana ada manusia pelit seperti Noor mau rugi. Uangnya jelas akan pulang, ditutup dari yang lain.”
“Maksud kamu?” Apuji menatap polo tajam, seperti curiga dan mulai penuh
selidik. “Tolong jelaskan, darimana dia bisa mengembalikan uangnya.”
Polo sadar bahwa ia baru saja mengucapkan sesuatu yang ceroboh. Tapi ia
berpikir, apakah wanita di hadapannya ini memang tidak tahu atau hanya
pura-pura tidak tahu tentang adanya kebiasaan beberapa kepala cabang
yang mau menerima uang suap dari beberapa lembaga pembiayaan, semua
dilakukan demi kesinambungan bisnis antara dealer dan lembaga pembiayaan
pemberi suap. Ada uang taktis bulanan yang dianggarkan lembaga-lembaga
pembiayaan tertentu untuk setiap kepala cabang yang mau mereka suap
dengan syarat ada timbal-balik aplikasi penjualan kredit. Semakin banyak
timbal-balik aplikasi penjualan kredit yang diterima lembaga pembiayaan
itu dari dealer, maka semakin banyak jumlah uang yang bisa diterima
sang kepala cabang. Inilah permainan terselubung. Bisnis adalah bisnis.
Dana taktis itu dikenal dngan sebutan uang refund. Inilah tadi
yang sebenarnya hendak diungkap Polo, namun tiba-tiba ia sendiri jadi
ragu menyatakannya. Wajahnya sangsi. Akhirnya Polo meralat sendiri
ucapannya.
“Ya, mungkin saja ada orang baik hati meminjami Noor uang. Mungkin saja kan, Bu,” kata Polo akhirnya, berlagak bodoh saja.
“Ah mulai ngewadul
lagi kamu, Pol. Yang jelas begini, saya juga keberatan jika Noor mulai
ikut berjualan di dalam kota. Bagi saya itu tidak etis. Kok jadi ngoyo banget. Padahal pasar di wilayahnya juga bagus.”
“Masalahnya Noor itu serakah.”
“Sudahlah jangan kamu mengurusi kelakuannya. Biar saya yang tegur.
Saya mau tegaskan sesuatu, Pol. Saya tidak mau sesama kalian saling
bersaing secara tidak sehat. Besok akan saya kumpulkan semua kepala
cabang. Kita meeting di ruangan saya.” Apuji kemudian bangun dari duduknya.
Besoknya Apuji membuktikan ucapannya mengumpulkan semua kepala cabang. Apuji membuka meeting di ruangannya tepat jam sembilan pagi.
Awalnya meeting masih berlangsung tenang. Ketenangan itu berlangsung
sekitar limabelas menit dan senyum masih mengembang di wajah Apuji saat
menyampaikan kata-katanya. Tiba-tiba seorang kepala cabang menghembuskan
napas kuat-kuat ke udara seakan ia sudah tak tahan mendengarkan apa
yang Apuji sampaikan. Ia sengaja memotong kalimat-kalimat Apuji.
“Maaf saya sela sebentar, Bu. Di meeting
terlalu sering kita hanya berteori tapi prakteknya jauh ke langit. Saya
punya banyak keluhan menyangkut hal-hal yang jauh ke langit itu. Tidak
perlu kita membuang waktu membicarakan hal-hal yang sudah sering kita
bahas. Masalah saya menyangkut pembagian barang dan pengirimannya ke pos
cabang saya yang sering mengecewakan. Beberapa bulan belakangan saya
perhatikan Ibu hanya fokus untuk cabang kota, sementara untuk pos cabang
daerah seakan dikesampingkan. Terbukti sudah berkali-kali barang ke pos
cabang saya dihambat pengirimannya. Kepemimpinan Ibu sekarang saya
pertanyakan!” Itulah lelaki yang bernama Noor Salman. Saat bicara
berapi-api di ruangan itu, tampak jelas pipinya cembung.
“Terima kasih kritiknya, Noor. Soal pembagian barang, saya hanya
menjalankan kebijakan yang sudah ada. Selama ini pembagian barang
ditentukan secara proporsional berdasarkan tingkat kemampuan cabang menjual. Saya pikir ini tak ada kendala, Noor. Tiap cabang sudah ada alokasinya masing-masing. Memang benar, kadang-kadang transit barang untuk pos cabang di daerah sering terhambat di sini karena kendala seluruh item kendaraan harus diinput
dulu ke sistem dan kendala armada pengiriman kita yang masih perlu
ditambah. Tapi marilah kita bersabar sambil membicarakan solusinya.”
Pipi Noor Salman tetap cembung. “Okelah yang itu. Tapi saya punya
keluhan serius lagi dan untuk yang ini saya sudah tidak mau kompromi.
Barang untuk cabang saya yang masih transit di sini sering disabotase
oleh beliau ini tanpa ijin!” Telunjuk Noor yang besar seukuran wortel
super tiba-tiba mengacung ke wajah Polo, sosok yang dimaksudnya “beliau”
tadi.
Ekspresi wajah Polo berubah, merasa tak enak ditunjuk-tunjuk.
Apuji bergeming. “Noor, bukankah itu sudah biasa. Lagipula saya tidak pernah sembrono mengijinkan ada cabang menjual alokasi barang cabang lain tanpa melihat mana yang lebih urgent.
Paling tidak saya suruh sesama kalian saling bernegosiasi dulu. Setiap
Polo mau pinjam barang kamu selalu saya tanya apakah dia sudah
menghubungi kamu, dan dia selalu bilang kamu sudah mengijinkannya. Jadi
jika timbul keluhanan dan saling menyalahkan seperti ini, justru saya
yang mempertanyakan dimana komitmen kerjasama sesama kalian untuk
kemajuan perusahaan ini?”
Wajah Noor Salman semakin geram
seperti kodok kepanasan. “Hei kamu!” Ia menuding ke Polo lagi. “Apa
pernah kamu minta ijin ke saya?”
Polo diam.
“Apa benar begitu, Pol?” Apuji memalingkan perhatiannya ke Polo.
Polo mengangguk.
“Kenapa setiap saya tanya, kamu selalu bilang sudah minta ijin? Berarti kamu membohongi saya, Pol?”
Polo grogi. Tanpa sadar tangannya di bawah meja menggaruk-garuk
selangkangannya sendiri. Tapi Polo tetaplah Polo. Ia tak mau dipukul
telak. “Ini bisnis, Bu. Daripada barangnya busuk di gudang tidak laku
dijual. Apa iya cashflow di perusahaan ini harus macet hanya
untuk menunggu Noor menjual sendiri alokasi barangnya? Apa iya Noor akan
kasih ijin kalau saya minta dulu? Paling tidak saya sudah bantu target faktur cabangnya. Jangan diperbesarlah masalah macam ini.”
“Tidak bisa, Pol. Saya tidak mau kamu seenaknya main tabrak seperti itu,” Apuji mengingatkan.
“Oke saya salah, Bu. Tapi tolong dibahas juga soal Noor yang seenaknya
masuk ke area penjualan saya. Saya tahu, Noor sengaja membentuk tim
marketing bayangan di dalam kota dan sudah dua minggu ini market saya diganggu Noor.”
Mendengar itu, tiba-tiba Noor Salman berdiri meninggalkan kursi.
“Mau kemana kamu, Noor?” Apuji menegur.
“Keluar! Saya jijik mendengar omongan orang idiot di ruangan ini. Saya
ingatkan kamu Polo, jangan main-main dengan saya!” Setelah ucapannya
itu, Noor Salman benar-benar berlalu meninggalkan meeting dan membanting pintu secara brutal.
Apuji akhirnya memutuskan tidak melanjutkan pertemuan itu. Setengah jam
kemudian wanita itu tampak sudah duduk berdua dengan Noor Salman di
kursi tunggu showroom. Ia berusaha mendamaikan hati lelaki itu. Namun usahanya tampak tak berhasil.
Setelah meninggalkan Noor, Apuji menuju ke kantin menemui para kepala
cabang lain yang memilih berkumpul di situ. Namun Apuji tak mendapati
Polo ada di antara mereka. Semua wajah masih tegang. Tiga kepala cabang
yang duduk-duduk di kantin segera merendahkan suara mereka saat Apuji
ikut bergabung.
“Kita semua akan terganggu jika di antara
kalian sudah ada yang bersikap seperti tadi,” Apuji mengingatkan segenap
pria di dekatnya.
“Semua ini salah Polo,” seorang kepala cabang yang tubuhnya kurus, bernama Andi, menyahut.
“Ah, dua-duanya salah!” ikut menyahut seorang lagi yang bernama Afan. “Yang satu ngawur, yang satu serakah!”
Apuji tak berkomentar. Di meja itu ia hanya mengetuk-ketuk jarinya di
meja seperti sedang berpikir. Berulangkali ia menghela napas dan
mengingatkan dirinya sendiri bahwa ia tak bisa mengalir saja membiarkan
terlalu lama situasi memprihatinkan beberapa anak buahnya sekarang.
Hingga malam hari di rumahnya, Apuji masih memikirkan awan prahara itu.
Ia adalah wanita yang sangat berpengalaman memimpin. Ia tahu apa yang
sesungguhnya terjadi, ia tahu apa yang sedang disembunyikan seseorang,
bahkan pikiran-pikiran yang paling rahasia sekalipun akan terlihat
mentah dan telanjang di matanya. Malam itu pikran Apuji sesungguhnya
bukan melayang ke substansi prahara, namun ke sesuatu lain yang lebih
besar. Apuji mencium aroma pengkhianatan!
Sejak penjualan dealer Alila meroket, pihak pesaing mula-mula menganggap itu biasa. Mereka berpikir itu hanya fenomena change market
dan tak akan berlangsung lama. Beberapa dealer di sekitar Alila merasa
belum terancam dan terganggu. Namun membiarkan itu berlangsung selama
lima bulan berturut-turut, beberapa orang mulai terusik, cemas, bahkan
naik pitam ingin menghancurkan dominasi itu. Beberapa pesaing yang
terbiasa nyaman dengan keadaan serba baik dalam bisnisnya segera sadar market attack
yang dilakukan Alila sudah berada pada titik membahayakan eksistensi
mereka. Entah siapa yang memulai, rencana-rencana pun diatur untuk
menghentikan gebrakan spektakuler Alila.
Penerapan rencana itu berlangsung halus dan tidak kasat mata.
Malam itu, jauh dari tempat tinggal Apuji, kembali tampak dua laki-laki
misterius mengadakan pertemuan rahasia dan dalam setiap pertemuannya
mereka memperbincangkan dealer Alila terus-menerus. Entah siapa mereka.
Yang seorang selalu mengenakan jaket dan topi, yang seorang lagi
bertubuh tambun dengan sorot mata tajam seperti mata kucing. Malam itu
di tengah hembusan angin dingin di bangku alun-alun Taman dwipangga
keduanya bertemu lagi. Sekilas mereka tampak hanya bercakap-cakap
ringan, namun apa yang dicakapkan mengandung makna dan selubung tujuan
yang jelas.
“Bagaimana perkembangannya?” tanya si topi pada
lelaki tambun yang bersebelahan duduk dengannya. “Apakah simpulnya mulai
goyah?”
“Beres,” jawab si tambun. “Pelan tapi pasti kau akan
melihat mereka kacau-balau. Dominasi mereka tak akan lama lagi. Satu
sama lain akan aku buat saling baku hantam.”
“Ya, tapi jangan
terlampau mencolok bahwa kau sedang mengadu domba mereka. Ada baiknya
kau mulai fokus juga menghancurkan tim Toni karena aku lihat itu salah
satu faktor tangguh dealer Alila.”
“Aku mulai ke arah itu.”
“Yang jelas tugasmu hanya merusak mereka dari dalam,” si topi
mengingatkan. “Sebagai orang dalam pasti mudah bagimu bergerak
kesana-kemari.”
Si tambun mengangguk. “Aku tak akan mengecewakanmu,” katanya pada si topi.
Hanya sampai di situ si topi akhirnya bangkit. Mereka memang tak pernah
berlama-lama jika bertemu di Taman Dwipangga, taman yang sengaja
dibangun oleh pemerintah untuk mengenang peristiwa letusan Krakatau
1883. Setiap akan berlalu si topi pasti memberi amplop berisi uang
kepada si tambun. “Ini dari Bos,” katanya. Lalu si topi menghilang di
tengah kegelapan.
Gerakan-gerakan terselubung yang mulai
timbul untuk mengguncang Alila sebenarnya tak hanya datang dari satu
pesaing. Setiap pesaing mulai ikut menyerang Alila dengan strateginya
masing-masing. Salah satu fenomena yang mulai tampak ketika para field survei tak berbondong-bondong lagi mengunjungi Alila. Banyak para field survei,
terutama mereka yang rakus uang, perlahan-lahan mulai menarik diri.
Kemana mereka menghilang? Ternyata itu merupakan efek yang timbul dari
penerapan strategi pesaing. Para field survei itu tidak
menghilang, tapi disedot oleh pusaran baru yang sengaja diciptakan salah
satu pesaing Alila lewat politik uang. Pesaing itu sengaja mensuport sebuah pos penjualan kecil, brokerpost, yang dikelola oleh pria bernama Gelantik. Sejak Gelantik disuport secara luar biasa oleh salah satu dealer yang berambisi juga menghancurkan Alila, ke sanalah sekarang para field survei
berbondong-bondong “melempar” order penjualan mereka. Motivasinya tentu
saja uang. Bagaimana tidak? Ternyata Gelantik berani memberi komisi
lebih tinggi dari komisi dealer. Di bisnis otomotif roda dua, memang
bukan hal aneh bahwa field survei merupakan salah satu sumber
signifikan juga dalam meningkatkan volume penjualan. Tugas pokok mereka
memang melakukan survei, tapi untuk mencari penghasilan tambahan tentu
mereka fokus juga mencari konsumen, ibarat pepatah sambil menyelam minum air. Sifat-sifat serakah para field survei
inilah yang dimanfaatkan oleh Gelantik dengan mengiming-imingi mereka
komisi lebih tinggi. Di samping komisi yang lebih tinggi, Gelantik
memberi service pula berupa pelayanan yang sama baik dan sama cepatnya.
Jika melihat kantor operasional brokerpost
milik Gelantik, keadaannya sebenarnya sangat tidak memadai. Kantor
menyedihkan itu ukurannya hanya empat kali lima meter persegi. Hanya ada
lima unit motor display yang bisa dilihat setiap hari di rung
sepetak itu. Namun di balik keadaan-keadaannya yang tampak serba
memprihatinkan itu, sesungguhnya nama Gelantik sudah sangat tersohor di
kota. Gelantik bukan “pemain kemarin sore” di bisnis otomotif. Jam
terbangnya yang sudah sangat tinggi sebagai marketing freelance
telah memberinya koneksi yang luas. Sekarang ia cukup mengandalkan
telepon untuk mengumpulkan order demi order, dan dulu biasanya ia akan
mencari dealer-dealer yang berani membayar ordernya dengan komisi
tertinggi. Kelancaran bisnisnya juga didukung oleh beberapa lembaga
pembiayaan yang mengalokasikan juga anggaran dana refund bulanan untuk Gelantik, meski status brokerpost miliknya bukan sebagai dealer resmi. Sekarang, setelah mendapat suport
luarbiasa dari salah satu dealer besar pesaing Alila, sepak terjang
Gelantik tentu saja semakin tak bisa dianggap remeh. Mulai susutnya
kunjungan para field survei yang yang biasa memberi order ke Alila, ini baru contoh awal dari efektifitas seorang Gelantik.
Strategi-strategi yang sedang berlangsung untuk menghantam Alila memang
belum serta-merta berdampak nyata. Namun mulai berkurangnya order dari
para field survei mulai mendapat perhatian, terutama oleh Toni.
Bagi Toni ini merupakan fakta yang mengganggu. Toni juga tak menutup
mata melihat aktifitas postbroker Gelantik yang tiba-tiba
saangat agresif dalam beberapa minggu terakhir. Toni membaca agresifitas
itu sangat berbahaya jika ia tak menyiapkan antisipasi baru.
Pagi
itu, sementara Apuji masih suntuk memikirkan prahara yang mengganggu
pikirannya, Toni masuk ke ruang kerja wanita itu. Biasanya Toni jarang
menemui Apuji jika ia tidak membawa sesuatu yang penting. Setelah
dipersilahkan duduk, Toni tak membuang-buang waktu menyampaikan
maksudnya pada sang atasan.
“Kendali tim marketing kita terhadap pasar sedikit terganggu belakangan ini, Bu. Para field survei
yang biasanya ikut membantu volume penjualan kita saya lihat juga tidak
lagi menjalankan fungsinya secara total di Alila. Tampaknya ada
pihak-pihak di luar sana mulai melakukan antisipasi yang gigih juga
untuk menyerap penjualan dari para field survei.”
“Ya jelas,” sahut Apuji sambil menyimak Toni dengan seksama. “Sedikit
saja kita lengah, pesaing akan ambil kembali kendali pasar yang selama
ini kita kuasai.”
“Tapi yang paling meresahkan saya para field survei itu sekarang banyak berpaling ke brokerpost
milik Gelantik. Saya heran, Gelantik sepertinya sedang mendapat
kekuatan baru. Bahkan kekuatannya lebih besar dari biasa. Dugaan saya,
sekarang ada dealer besar yang mau total berdiri di belakang Gelantik
dan segala aktifitas yang akan mereka lakukan tujuannya jelas untuk
meredam dominasi kita.”
Apuji mengangkat pandangannya.
“Gerak-gerik Gelantik sebenarnya sudah menjadi perhatian saya juga. Apa
yang kamu pikirkan sekarang sebenarnya sama persis seperti pikiran saya.
Karena pengalaman dan kematangan lobinya dalam bisnis ini, saya tahu di
kota ini brokerpost milik Gelantik kerap dimanjakan oleh
dealer-dealer yang berlomba-lomba menampung penjualannya. Jangan aneh
jika sekarang ada dealer yang habis-habisan mensuport Gelantik dengan tujuan memukul kita. Jadi apa solusi kamu?”
“Saya berencana membentuk satu lagi tim pendukung,” jawab Toni. “Jika
Ibu menyetujui rencana ini, secepatnya saya akan melakukan perekrutan.”
Apuji hening. Agak lama.
Toni jadi ragu, apakah atasannya itu setuju dengan usulannya.
“Apa tim agresor sudah tidak bisa diandalkan lagi?” kemudian terdengar pertanyaan itu dari bibir Apuji.
“Tujuan saya membentuk tim baru ini untuk menambah tekanan kita di pasar, Bu. Di samping ada tim agresor, sudah saatnya kita punya tim dirrect selling murni untuk membendung Gelantik dan menyapu bersih aplikasi konsumen di lapangan. Selama ini kita menyerap aplikasi konsumen langsung hanya mengandalkan countersales. Jika tim dirrect selling ini terbentuk dan berhasil, saya rasa tak hanya Gelantik saja yang akan kedodoran, para field survei
yang menyeberang ke Gelantik pun akan menyesal bahwa mereka telah
melakukan kesalahan besar meninggalkan kita, sebab bagaimanapun mereka
juga butuh aplikasi konsumen. Setahu saya Gelantik selama ini tak punya
power untuk mencari aplikasi konsumen kredit yang sangat dibutuhkan para
field survei. Gelantik hanya mengandalkan keunggulan lobinya yang dia kemas dengan iming-iming komisi lebih tinggi.”
“Lalu?”
Toni kemudian mempresentasikan secara gamblang rencana-rencananya. “Seratus orang sales dirrect selling saya rasa sudah cukup memadai untuk menambah daya gempur kita di pasar,” kata Toni akhirnya, menutup penjelasan.
Apuji terperangah. “Apa? Kamu mau merekrut seratus orang untuk tim ini?”
“Ya. Kenapa tidak, Bu? Jumlah itu sebenarnya bisa ditambah lagi. Kita serang pasar dari semua sisi.”
“Jangan spekulatif, Ton. Di sini kita tidak bicara emosi, tapi juga efektifitas dan budget. Di sini saya juga punya atasan lagi, jadi tidak semua usulan serta-merta akan disetujui.”
Toni merasa, ia dan atasannya tak menemui kata sepakat.
Ruangan hening.
Merasa tak nyaman karena telah ditolak, akhirnya Toni beranjak.
“Tunggu dulu,” Apuji mencegah. “Saya punya jalan tengah untukmu, Ton. Kamu pasti sudah dengar desas-desus bahwa tim srikandi
di dealer kita akhir-akhir ini sering dikritik oleh Pak Okan karena
dianggap terlalu besar makan biaya. Saya khawatir bulan depan Pak Okan
akan membubarkan tim ini begitu saja. Agaknya Pak Okan sekarang hanya
ingin fokus pada sumber daya yang memiliki kontribusi langsung pada
volume penjualan. Maksud saya begini, bagaimana jika anak-anak srikandi saja yang kamu fungsikan sebagai tim dirrect selling? Kamu organisir mereka ke arah itu, jadi tak perlu lagi merekrut sumber daya baru. Toh, sudah tak sulit lagi merevenue mereka.”
“Jadi mereka difokuskan ke marketing? Jika itu maksudnya, berarti fungsi promosi di dealer ini yang selama ini menjadi domain anak-anak srikandi otomatis dihilangkan.”
“Itu maksud saya, Ton.”
Toni ragu. Akan sangat sembrono sebuah perusahaan mengamputasi fungsi
promosi hanya karena alasan hendak menghemat biaya. Padahal fungsi
promosi sebagaimana yang selama ini dijalankan oleh anak-anak srikandi telah memberi apa yang Toni sebut “perangsang” untuk menambah nilai jual dan membangun identitas perusahaan.
“Kenapa kamu terdiam, Ton?”
“saya keberatan, Bu.”
“Bagaimana jika ini sudah keputusan saya? Apa kamu masih keberatan?”
BERSAMBUNG
Tidak ada komentar:
Posting Komentar