ostradata.com

ostradata.com

Selasa, 24 September 2013

MAN & MOON (Sembilan)

Ditangani wanita yang tepat, suasana kantor itu tampak nyaman. Selayaknya cahaya maka cahayanya memancar sedemikian indah dan di dealer Alila  Apuji Retta adalah sumber cahaya keindahan itu. Ketukan sepatu hak tingginya setiap naik-turun tangga kantor laksana ritme patah-patah bass yang menenangkan hati. Tangannya seringan tangan peri nan baik hati, selalu memberi bagi tangan-tangan yang meminta. Matanya teduh memberi teladan, tak pernah kecewa melihat penolakan. Bibirnya bagai bunga merah, menggugurkan serbuk-serbuk senyum, tapi wajah tak pernah cemberut. Suaranya laksana aliran angin tak bertepi, melenakan jika musim adalah senja kemarau. Keindahannya seperti telaga dimana tiap kayuh kaki unggas bergetar dalam pusar gravitasinya.


Namun, semakin tinggi pohon tegak akan ada saja terpa angin mencoba mengguncangnya. Saat dirasa semua sudah berjalan baik, gangguan dan cobaan kecil biasanya akan datang sebagai tantangan. Itulah selintas aroma yang berhembus di kantor, aroma keculasan, namun pagi itu masih Apuji sikapi dengan santai. Kejahatan itu tercium, dari seekor angsa yang coba-coba bodoh menyebar racun busuk di telaga. Dalam pikiran Apuji, hal yang seharusnya tak perlu terjadi. Di pagi yang khianat itu perasaan Apuji memang sempat miris saat mendengar ada anak buahnya seperti itu, seperti bersiasat dan bekerja mengikuti selera sendiri. Kelakuan seperti itu bagi Apuji bagai terpaan angin sahara yang datang tiba-tiba, hembusannya terasa akan membawa pusaran pasir dan debu prahara. Tapi Apuji masih menahan diri. Di ruangannya ia enggan menelpon Noor Salman, si angin sahara, alias si angsa bodoh, yang meniup ketenangannya itu. Noor Salman adalah salah satu kepala cabang yang memimpin pos cabang dealer Alila di  daerah Timur Propinsi. Ketika Apuji menerima laporan tindakan Noor Salman, wanita itu berusaha tak berpikir apa-apa seolah tindakan anak buah yang mengusiknya itu tidak pernah terjadi. Tapi pagi itu telepon dari Okan menggetarkan ruangannya, sesuatu yang jelas tak bisa Apuji hindari.

 
  “Selamat pagi, Pak!” Apuji menyambut telepon Okan dengan sikapnya yang biasa tenang.
   
 “Pagi!” terdengar suara khas Okan. Tapi kali ini lebih keras dan berat. “Kamu tahu kenapa saya jadi tolol menelpon kamu sepagi ini? Saya bahkan jadi malas beranjak dari rumah karena memikirkan sengketa yang tak perlu seperti ini. Kamu tahu kenapa?”
  
  “Saya tahu, pak. Staf gudang sudah berikan laporan detilnya ke saya. Ini pasti masalah Noor Salman. Sebenarnya kami hanya saling keliru dan saya mengakui ini salah saya,” Apuji memejamkan mata saat mengucapkan kalimat-kalimat itu.
 
   “Oke, jangan terulang. Tidak pada tempatnya seorang kepala cabang yang notabene menjadi urusanmu mengatur mereka tiba-tiba datang pagi buta tak diundang ke rumah saya hanya untuk mengeluh bahwa kamu telah sengaja memperlambat barang permintaannya. Jangan salahkan dia jika akhirnya saya ijinkan mengambil sendiri barang-barangnya di gudang tanpa kamu tahu. Apa sudah kamu periksa barang-barang yang dibawanya?”
  
  “Sudah, Pak.”
  
  “Oke. Ingat Apuji, ada baiknya kamu pahami lagi bahwa semua kepala cabang di Alila berada di bawah pengawasanmu. Tugasmu memantau kinerja mereka, termasuk memantau apa-apa saja kebutuhan mereka. Jika saya harus ikut repot mengurus mereka, apa perlunya kamu!” Lalu Okan menutup teleponnya.
  
    Apuji hanya tercengang mendengar kesimpulan okan bahwa ia memperlambat permintaan barang dari pos cabang Noor Salman. Namun wanita itu tak ingin mendebat nuraninya. Ia menyandar rileks ke kursi. Mengatur napas. Dengan sikap santai ia coba tenang seolah tak terjadi apapun. Ia coba cegah kekecewaanya timbul. Apapun yang datang mengganggu, bagi Apuji ketentraman di kantor di atas segala-galanya. Di Alila, di tamannya yang sedang bersemi indah ini, tak ingin ia timbulkan keinginan menghukum bunga-bunganya yang bersalah menjadi gulma.
   
   Semenit kemudian Tina muncul membawa secangkir cream moka kesukaan Apuji. Setelah menghidangkannya di meja perempuan kantin itu berlalu dari ruangan. Apuji mencicipi mokanya. Tak lama ia ikut keluar meninggalkan ruangan dan menyusuri lorong lantai dua yang terhubung ke sebuah ruangan bercat abu-abu. Di ruang abu-abu yang bersekat kaca ia lihat Toni sedang memberi arahan ke timnya. Apuji hanya melewati ruangan itu. Ia kemudian melintas di depan ruangan lain. Di ruangan anak-anak srikandi itu dilihatnya juga sedang berlangsung meeting tim. Apuji akhirnya singgah di ruangan Polo. Dilihatnya lelaki itu sedang santai.
   
   “Polo, bagaimana rencana penjualan hari ini?”  Apuji duduk di hadapan anak buahnya yang bertubuh longsor dan berpipi tembem itu.
   
   “Banyak, Bu.” Polo menjawab enteng. Kemudian ia menyodorkan setumpuk SPPK – Surat Permohonan Penjualan Kendaraan—ke atasannya itu. “Ini semua tinggal ditandatangani, Bu. Ini pending penjualan kita kemarin. Motornya harus dikirim semua hari ini.”
   
   Apuji sekilas saja memeriksa tumpukan SPPK itu, lalu ia begitu saja menandatangani semuanya.
  
   Tak lama tiba-tiba terdengar Polo mengeluhkan sesuatu. “Sekarang Noor Salman banyak berjualan di dalam kota, Bu. Padahal dia sudah punya area sendiri di Timur.”
  
    “Pol, jika bicara jangan asal. Mana mungkin Noor yang areanya di daerah jualannya di dalam kota. Jangan sering menuduh tanpa bukti. Ingat, kita semua satu tim. Jangan menimbulkan hal-hal yang bisa menciptakan perpecahan. Pesaing-pesaing kita di luar sana justru akan sangat senang jika melihat tim kita pecah.”
   
   “Memang, saya tahu itu. Saya tahu banyak dealer pesaing mulai sakit gigi melihat penjualan kita yang spektakuler. Tapi soal kelakuan Noor Salman, ini fakta tak bisa dibantah, Bu.” Polo mengutak-atik laptopnya sesaat. Lalu ia mengarahkan monitor laptopnya ke hadapan Apuji. “Ibu bisa lihat data ini. Sudah dua minggu ini Noor masuk ke pasar kami. Ibu lihat di data yang saya blocking warna biru, itu semua data-data konsumen tim Noor Salman di kota ini, sebagian besarnya dia dapat dari menabrak order saya.”
  
    “Kok bisa, Pol?” Apuji tercenung. “Kalau dia ambil penjualan di dalam kota, berarti dia bermain dengan budget diskon yang besar? Seingat saya diskon-diskon penjualan kreditnya hingga kemarin masih sesuai aturan. Mana mungkin saya aprove jika diskon untuk penjualan kredit yang diajukannya melampaui batas aturan.”
  
    Polo tersenyum kecil. “Ah, di dunia marketing otomotif seperti ini semuanya bisa diatur, Bu. Bisa saja untuk sementara Noor memakai dana talangan pribadinya untuk memperbesar diskon ke broker-broker hingga para broker tertarik untuk berpaling kepadanya.”
  
    “Lalu, dia sendiri yang rugi, dong?”
  
    Polo tersenyum lagi. “Ah, mana ada manusia pelit seperti Noor mau rugi. Uangnya jelas akan pulang, ditutup dari yang lain.”
  
    “Maksud kamu?” Apuji menatap polo tajam, seperti curiga dan mulai penuh selidik. “Tolong jelaskan, darimana dia bisa mengembalikan uangnya.”
 
     Polo sadar bahwa ia baru saja mengucapkan sesuatu yang ceroboh. Tapi ia berpikir, apakah wanita di hadapannya ini memang tidak tahu atau hanya pura-pura tidak tahu tentang adanya kebiasaan beberapa kepala cabang yang mau menerima uang suap dari beberapa lembaga pembiayaan, semua dilakukan demi kesinambungan bisnis antara dealer dan lembaga pembiayaan pemberi suap. Ada uang taktis bulanan yang dianggarkan lembaga-lembaga pembiayaan tertentu untuk setiap kepala cabang yang mau mereka suap dengan syarat ada timbal-balik aplikasi penjualan kredit. Semakin banyak timbal-balik aplikasi penjualan kredit yang diterima lembaga pembiayaan itu dari dealer, maka semakin banyak jumlah uang yang bisa diterima sang kepala cabang. Inilah permainan terselubung. Bisnis adalah bisnis. Dana taktis itu dikenal dngan sebutan uang refund. Inilah tadi yang sebenarnya hendak diungkap Polo, namun tiba-tiba ia sendiri jadi ragu menyatakannya. Wajahnya sangsi. Akhirnya Polo meralat sendiri ucapannya.
   
   “Ya, mungkin saja ada orang baik hati meminjami Noor uang. Mungkin saja kan, Bu,” kata Polo akhirnya, berlagak bodoh saja.
  
    “Ah mulai ngewadul lagi kamu, Pol. Yang jelas begini, saya juga keberatan jika Noor mulai ikut berjualan di dalam kota. Bagi saya itu tidak etis. Kok jadi ngoyo banget. Padahal pasar di wilayahnya juga bagus.”

     “Masalahnya Noor itu serakah.”
  
   “Sudahlah jangan kamu mengurusi kelakuannya. Biar saya yang tegur.  Saya mau tegaskan sesuatu, Pol. Saya tidak mau sesama kalian saling bersaing secara tidak sehat. Besok akan saya kumpulkan semua kepala cabang. Kita meeting di ruangan saya.” Apuji kemudian bangun dari duduknya.
  
    Besoknya Apuji membuktikan ucapannya mengumpulkan semua kepala cabang. Apuji membuka meeting di ruangannya tepat jam sembilan pagi.
   
   Awalnya meeting masih berlangsung tenang. Ketenangan itu berlangsung sekitar limabelas menit dan senyum masih mengembang di wajah Apuji saat menyampaikan kata-katanya. Tiba-tiba seorang kepala cabang menghembuskan napas kuat-kuat ke udara seakan ia sudah tak tahan mendengarkan apa yang Apuji sampaikan. Ia sengaja memotong kalimat-kalimat Apuji.
 
     “Maaf saya sela sebentar, Bu. Di meeting terlalu sering kita hanya berteori tapi prakteknya jauh ke langit. Saya punya banyak keluhan menyangkut hal-hal yang jauh ke langit itu. Tidak perlu kita membuang waktu membicarakan hal-hal yang sudah sering kita bahas. Masalah saya menyangkut pembagian barang dan pengirimannya ke pos cabang saya yang sering mengecewakan. Beberapa bulan belakangan saya perhatikan Ibu hanya fokus untuk cabang kota, sementara untuk pos cabang daerah seakan dikesampingkan. Terbukti sudah berkali-kali barang ke pos cabang saya dihambat pengirimannya. Kepemimpinan Ibu sekarang saya pertanyakan!” Itulah lelaki yang bernama Noor Salman. Saat bicara berapi-api di ruangan itu, tampak jelas pipinya cembung.
   
   “Terima kasih kritiknya, Noor. Soal pembagian barang, saya hanya menjalankan kebijakan yang sudah ada. Selama ini pembagian barang ditentukan secara proporsional berdasarkan tingkat kemampuan cabang menjual. Saya pikir ini tak ada kendala, Noor. Tiap cabang sudah ada alokasinya masing-masing. Memang benar, kadang-kadang transit barang untuk pos cabang di daerah sering terhambat di sini karena kendala seluruh item kendaraan harus diinput dulu ke sistem dan kendala armada pengiriman kita yang masih perlu ditambah. Tapi marilah kita bersabar sambil membicarakan solusinya.”

      Pipi Noor Salman tetap cembung. “Okelah yang itu. Tapi saya punya keluhan serius lagi dan untuk yang ini saya sudah tidak mau kompromi. Barang untuk cabang saya yang masih transit di sini sering disabotase oleh beliau ini tanpa ijin!” Telunjuk Noor yang besar seukuran wortel super tiba-tiba mengacung ke wajah Polo, sosok yang dimaksudnya “beliau” tadi.
 
     Ekspresi wajah Polo berubah, merasa tak enak ditunjuk-tunjuk.
   
   Apuji bergeming. “Noor, bukankah itu sudah biasa. Lagipula saya tidak pernah sembrono mengijinkan ada cabang menjual alokasi barang cabang lain tanpa melihat mana yang lebih urgent. Paling tidak saya suruh sesama kalian saling bernegosiasi dulu. Setiap Polo mau pinjam barang kamu selalu saya tanya apakah dia sudah menghubungi kamu, dan dia selalu bilang kamu sudah mengijinkannya. Jadi jika timbul keluhanan dan saling menyalahkan seperti ini, justru saya yang mempertanyakan dimana komitmen kerjasama sesama kalian untuk kemajuan perusahaan ini?”
 
     Wajah Noor Salman semakin geram seperti kodok kepanasan. “Hei kamu!” Ia menuding ke Polo lagi. “Apa pernah kamu minta ijin ke saya?”
  
    Polo diam.
 
     “Apa benar begitu, Pol?” Apuji memalingkan perhatiannya ke Polo.
  
    Polo mengangguk.
  
    “Kenapa setiap saya tanya, kamu selalu bilang sudah minta ijin? Berarti kamu membohongi saya, Pol?”
 
     Polo grogi. Tanpa sadar tangannya di bawah meja menggaruk-garuk selangkangannya sendiri. Tapi Polo tetaplah Polo. Ia tak mau dipukul telak. “Ini bisnis, Bu. Daripada barangnya busuk di gudang tidak laku dijual. Apa iya cashflow di perusahaan ini harus macet hanya untuk menunggu Noor menjual sendiri alokasi barangnya? Apa iya Noor akan kasih ijin kalau saya minta dulu? Paling tidak saya sudah bantu target faktur cabangnya. Jangan diperbesarlah masalah macam ini.”
 
     “Tidak bisa, Pol. Saya tidak mau kamu seenaknya main tabrak seperti itu,” Apuji mengingatkan.
   
   “Oke saya salah, Bu. Tapi tolong dibahas juga soal Noor yang seenaknya  masuk ke area penjualan saya. Saya tahu, Noor sengaja membentuk tim marketing bayangan di dalam kota dan sudah dua minggu ini market saya diganggu Noor.”
   
    Mendengar itu, tiba-tiba Noor Salman berdiri meninggalkan kursi.
   
   “Mau kemana kamu, Noor?” Apuji menegur.
 
     “Keluar! Saya jijik mendengar omongan orang idiot di ruangan ini. Saya ingatkan kamu Polo, jangan main-main dengan saya!” Setelah ucapannya itu, Noor Salman benar-benar berlalu meninggalkan meeting dan membanting pintu secara brutal.
    
     Apuji akhirnya memutuskan tidak melanjutkan pertemuan itu. Setengah jam kemudian wanita itu tampak sudah duduk berdua dengan Noor Salman di kursi tunggu showroom. Ia berusaha mendamaikan hati lelaki itu. Namun usahanya tampak tak berhasil.
   
    Setelah meninggalkan Noor, Apuji menuju ke kantin menemui para kepala cabang lain yang memilih berkumpul di situ. Namun Apuji tak mendapati Polo ada di antara mereka. Semua wajah masih tegang. Tiga kepala cabang yang duduk-duduk di kantin segera merendahkan suara mereka saat Apuji ikut bergabung.
   
    “Kita semua akan terganggu jika di antara kalian sudah ada yang bersikap seperti tadi,” Apuji mengingatkan segenap pria di dekatnya.
   
   “Semua ini salah Polo,” seorang kepala cabang yang tubuhnya kurus, bernama Andi, menyahut.
 
     “Ah, dua-duanya salah!” ikut menyahut seorang lagi yang bernama Afan. “Yang satu ngawur, yang satu serakah!”
   
    Apuji tak berkomentar. Di meja itu ia hanya mengetuk-ketuk jarinya di meja seperti sedang berpikir. Berulangkali ia menghela napas dan mengingatkan dirinya sendiri bahwa ia tak bisa mengalir saja membiarkan terlalu lama situasi memprihatinkan beberapa anak buahnya sekarang.
  
     Hingga malam hari di rumahnya, Apuji masih memikirkan awan prahara itu. Ia adalah wanita yang sangat berpengalaman memimpin. Ia tahu apa yang sesungguhnya terjadi, ia tahu apa yang sedang disembunyikan seseorang, bahkan pikiran-pikiran yang paling rahasia sekalipun akan terlihat mentah dan telanjang di matanya. Malam itu pikran Apuji sesungguhnya bukan melayang ke substansi prahara, namun ke sesuatu lain yang lebih besar. Apuji mencium aroma pengkhianatan!

Sejak penjualan dealer Alila meroket, pihak pesaing mula-mula menganggap itu biasa. Mereka berpikir itu hanya fenomena change market dan tak akan berlangsung lama. Beberapa dealer di sekitar Alila merasa belum terancam dan terganggu. Namun membiarkan itu berlangsung selama lima bulan berturut-turut, beberapa orang mulai terusik, cemas, bahkan naik pitam ingin menghancurkan dominasi itu. Beberapa pesaing yang terbiasa nyaman dengan keadaan serba baik dalam bisnisnya segera sadar market attack yang dilakukan Alila sudah berada pada titik membahayakan eksistensi mereka. Entah siapa yang memulai, rencana-rencana pun diatur untuk menghentikan gebrakan spektakuler Alila.
 
     Penerapan rencana itu berlangsung halus dan tidak kasat mata.
  
    Malam itu, jauh dari tempat tinggal Apuji, kembali tampak dua laki-laki misterius mengadakan pertemuan rahasia dan dalam setiap pertemuannya mereka memperbincangkan dealer Alila terus-menerus. Entah siapa mereka. Yang seorang selalu mengenakan jaket dan topi, yang seorang lagi bertubuh tambun dengan sorot mata tajam seperti mata kucing. Malam itu di tengah hembusan angin dingin di bangku alun-alun Taman dwipangga keduanya bertemu lagi. Sekilas mereka tampak hanya bercakap-cakap ringan, namun apa yang dicakapkan mengandung makna dan selubung tujuan yang jelas.
 
     “Bagaimana perkembangannya?” tanya si topi pada lelaki tambun yang bersebelahan duduk dengannya. “Apakah simpulnya mulai goyah?”
   
   “Beres,” jawab si tambun. “Pelan tapi pasti kau akan melihat mereka kacau-balau. Dominasi mereka tak akan lama lagi. Satu sama lain akan aku buat saling baku hantam.”
  
    “Ya, tapi jangan terlampau mencolok bahwa kau sedang mengadu domba mereka. Ada baiknya kau mulai fokus juga menghancurkan tim Toni karena aku lihat itu salah satu faktor tangguh dealer Alila.”
   
   “Aku mulai ke arah itu.”

      “Yang jelas tugasmu hanya merusak mereka dari dalam,” si topi mengingatkan. “Sebagai orang dalam pasti mudah bagimu bergerak kesana-kemari.”
  
    Si tambun mengangguk. “Aku tak akan mengecewakanmu,” katanya pada si topi.
  
    Hanya sampai di situ si topi akhirnya bangkit. Mereka memang tak pernah berlama-lama jika bertemu di Taman Dwipangga, taman yang sengaja dibangun oleh pemerintah untuk mengenang peristiwa letusan Krakatau 1883. Setiap akan berlalu si topi pasti memberi amplop berisi uang kepada si tambun. “Ini dari Bos,” katanya. Lalu si topi menghilang di tengah kegelapan.
   
  Gerakan-gerakan terselubung yang mulai timbul untuk mengguncang Alila sebenarnya tak hanya datang dari satu pesaing. Setiap pesaing mulai ikut menyerang Alila dengan strateginya masing-masing. Salah satu fenomena yang mulai tampak ketika para field survei tak berbondong-bondong lagi mengunjungi Alila. Banyak para field survei, terutama mereka yang rakus uang, perlahan-lahan mulai menarik diri. Kemana mereka menghilang? Ternyata itu merupakan efek yang timbul dari penerapan strategi pesaing. Para field survei itu tidak menghilang, tapi disedot oleh pusaran baru yang sengaja diciptakan salah satu pesaing Alila lewat politik uang. Pesaing itu sengaja mensuport sebuah pos penjualan kecil, brokerpost, yang dikelola oleh pria bernama Gelantik. Sejak Gelantik disuport secara luar biasa oleh salah satu dealer yang berambisi juga menghancurkan Alila, ke sanalah sekarang para field survei berbondong-bondong “melempar” order penjualan mereka. Motivasinya tentu saja uang. Bagaimana tidak?  Ternyata Gelantik berani memberi komisi lebih tinggi dari komisi dealer. Di bisnis otomotif roda dua, memang bukan hal aneh bahwa field survei merupakan salah satu sumber signifikan juga dalam meningkatkan volume penjualan. Tugas pokok mereka memang melakukan survei, tapi untuk mencari penghasilan tambahan tentu mereka fokus juga mencari konsumen, ibarat pepatah sambil menyelam minum air. Sifat-sifat serakah para field survei inilah yang dimanfaatkan oleh Gelantik dengan mengiming-imingi mereka komisi lebih tinggi. Di samping komisi yang lebih tinggi, Gelantik memberi service pula berupa pelayanan yang sama baik dan sama cepatnya.
 
   Jika melihat kantor operasional brokerpost milik Gelantik, keadaannya sebenarnya sangat tidak memadai. Kantor menyedihkan itu ukurannya hanya empat kali lima meter persegi. Hanya ada lima unit motor display yang bisa dilihat setiap hari di rung sepetak itu. Namun di balik keadaan-keadaannya yang tampak serba memprihatinkan itu, sesungguhnya nama Gelantik sudah sangat tersohor di kota. Gelantik bukan “pemain kemarin sore” di bisnis otomotif. Jam terbangnya yang sudah sangat tinggi sebagai marketing freelance telah memberinya koneksi yang luas. Sekarang ia cukup mengandalkan telepon untuk mengumpulkan order demi order, dan dulu biasanya ia akan mencari dealer-dealer yang berani membayar ordernya dengan komisi tertinggi. Kelancaran bisnisnya juga didukung oleh beberapa lembaga pembiayaan yang mengalokasikan juga anggaran dana refund bulanan untuk Gelantik, meski status brokerpost miliknya bukan sebagai dealer resmi. Sekarang, setelah mendapat suport luarbiasa dari salah satu dealer besar pesaing Alila, sepak terjang Gelantik tentu saja semakin tak bisa dianggap remeh. Mulai susutnya kunjungan para field survei yang yang biasa memberi order ke Alila, ini baru contoh awal dari efektifitas seorang Gelantik.

     Strategi-strategi yang sedang berlangsung untuk menghantam Alila memang belum serta-merta berdampak nyata. Namun mulai berkurangnya order dari para field survei mulai mendapat perhatian, terutama oleh Toni. Bagi Toni ini merupakan fakta yang mengganggu. Toni juga tak menutup mata melihat aktifitas postbroker Gelantik yang tiba-tiba saangat agresif dalam beberapa minggu terakhir. Toni membaca agresifitas itu sangat berbahaya jika ia tak menyiapkan antisipasi baru.


Pagi itu, sementara Apuji masih suntuk memikirkan prahara yang mengganggu pikirannya, Toni masuk ke ruang kerja wanita itu. Biasanya Toni jarang menemui Apuji jika ia tidak membawa sesuatu yang penting. Setelah dipersilahkan duduk, Toni tak membuang-buang waktu menyampaikan maksudnya pada sang atasan.

     “Kendali tim marketing kita terhadap pasar sedikit terganggu belakangan ini, Bu. Para field survei yang biasanya ikut membantu volume penjualan kita saya lihat juga tidak lagi menjalankan fungsinya secara total di Alila. Tampaknya ada pihak-pihak di luar sana mulai melakukan antisipasi yang gigih juga untuk menyerap penjualan dari para field survei.”

    “Ya jelas,” sahut Apuji sambil  menyimak Toni dengan seksama. “Sedikit saja kita lengah, pesaing akan ambil kembali kendali pasar yang selama ini kita kuasai.”

    “Tapi yang paling meresahkan saya para field survei itu sekarang banyak berpaling ke brokerpost milik Gelantik. Saya heran, Gelantik sepertinya sedang mendapat kekuatan baru. Bahkan kekuatannya lebih besar dari biasa. Dugaan saya, sekarang ada dealer besar yang mau total berdiri di belakang Gelantik dan segala aktifitas yang akan mereka lakukan tujuannya jelas  untuk meredam dominasi kita.”
 
     Apuji mengangkat pandangannya. “Gerak-gerik Gelantik sebenarnya sudah menjadi perhatian saya juga. Apa yang kamu pikirkan sekarang sebenarnya sama persis seperti pikiran saya. Karena pengalaman dan kematangan lobinya dalam bisnis ini, saya tahu di kota ini brokerpost milik Gelantik kerap dimanjakan oleh dealer-dealer  yang berlomba-lomba menampung penjualannya. Jangan aneh jika sekarang ada dealer yang habis-habisan mensuport Gelantik dengan tujuan memukul kita. Jadi apa solusi kamu?”
 
    “Saya berencana membentuk satu lagi tim pendukung,” jawab Toni. “Jika Ibu menyetujui rencana ini, secepatnya saya akan melakukan perekrutan.”

    Apuji hening. Agak lama.

    Toni jadi ragu, apakah atasannya itu setuju dengan usulannya.

    “Apa tim agresor sudah tidak bisa diandalkan lagi?” kemudian terdengar pertanyaan itu dari bibir  Apuji.
 
   “Tujuan saya membentuk tim baru ini untuk menambah tekanan kita di pasar, Bu. Di samping ada tim agresor, sudah saatnya kita punya tim dirrect selling murni untuk membendung Gelantik dan menyapu bersih aplikasi konsumen di lapangan. Selama ini kita menyerap aplikasi konsumen langsung hanya mengandalkan countersales. Jika tim dirrect selling ini terbentuk dan berhasil, saya rasa tak hanya Gelantik saja yang akan kedodoran, para field survei yang menyeberang ke Gelantik pun akan menyesal bahwa mereka telah melakukan kesalahan besar meninggalkan kita, sebab bagaimanapun mereka juga butuh aplikasi konsumen. Setahu saya Gelantik selama ini tak punya power untuk mencari aplikasi konsumen kredit yang sangat dibutuhkan para field survei. Gelantik hanya mengandalkan keunggulan lobinya yang dia kemas dengan iming-iming komisi lebih tinggi.”
 
   “Lalu?”
 
   Toni kemudian mempresentasikan secara gamblang rencana-rencananya. “Seratus orang sales dirrect selling saya rasa sudah cukup memadai untuk menambah daya gempur kita di pasar,” kata Toni akhirnya, menutup penjelasan.
 
   Apuji terperangah. “Apa? Kamu mau merekrut seratus orang untuk tim ini?”

    “Ya. Kenapa tidak, Bu? Jumlah itu sebenarnya bisa ditambah lagi. Kita serang pasar dari semua sisi.”

    “Jangan spekulatif, Ton. Di sini kita tidak bicara emosi, tapi juga efektifitas dan budget. Di sini saya juga punya atasan lagi, jadi tidak semua usulan serta-merta akan disetujui.”
 
   Toni merasa, ia dan atasannya tak menemui kata sepakat.

    Ruangan hening.

    Merasa tak nyaman karena telah ditolak, akhirnya Toni beranjak.
 
   “Tunggu dulu,” Apuji mencegah. “Saya punya jalan tengah untukmu, Ton. Kamu pasti sudah dengar desas-desus bahwa tim srikandi di dealer kita akhir-akhir ini sering dikritik oleh Pak Okan karena dianggap terlalu besar makan biaya. Saya khawatir bulan depan Pak Okan akan membubarkan tim ini begitu saja. Agaknya Pak Okan sekarang hanya ingin fokus pada sumber daya yang memiliki kontribusi langsung pada volume penjualan. Maksud saya begini, bagaimana jika anak-anak srikandi saja yang kamu fungsikan sebagai tim dirrect selling? Kamu organisir mereka ke arah itu, jadi tak perlu lagi merekrut sumber daya baru. Toh, sudah tak sulit lagi merevenue mereka.”

     “Jadi mereka difokuskan ke marketing? Jika itu maksudnya, berarti fungsi promosi di dealer ini yang selama ini menjadi domain anak-anak srikandi otomatis dihilangkan.”
  
  “Itu maksud saya, Ton.”

    Toni ragu. Akan sangat sembrono sebuah perusahaan mengamputasi fungsi promosi hanya karena alasan hendak menghemat biaya. Padahal fungsi promosi sebagaimana yang selama ini dijalankan oleh anak-anak srikandi telah memberi apa yang Toni sebut “perangsang” untuk menambah nilai jual dan membangun identitas perusahaan.

    “Kenapa kamu terdiam, Ton?”

    “saya keberatan, Bu.”
 
   “Bagaimana jika ini sudah keputusan saya? Apa kamu masih keberatan?”

BERSAMBUNG

Tidak ada komentar:

Posting Komentar