Suara motor bergemuruh di depan.
Tak lama terdengar langkah kaki masuk diiringi batuk-batuk. Ellen hanya
mengintip dari pintu kamar mandi, pura-pura tak peduli pada yang datang.
"Orang-orang idealis pasti melarat!" tiba-tiba Tara, tamu tak diundang itu, sudah duduk di kursi rumah kontrakannya dan melempar sebuah lipatan kertas di meja.
Selesai mandi Ellen masih pura-pura tak melihat si lancang yang masuk rumahnya tanpa salam. Ia menyelonong dari kamar mandi ke kamarnya tanpa suara. Sambil menyisir di cermin, ia hanya sempat berpikir-pikir maksud omelan Tara. Siapa yang idealis siapa yang melarat? Ellen hanya terheran-heran. Akhirnya ia keluar sambil bersiul-siul. Tak didengarnya lagi suara Tara kecuali mendapati pria itu terpojok dalam lamunan. Ellen mengamati meja. Dipegangnya lipatan kertas yang dibawa Tara.
"Apa ini, Tar?"
"Konsep," jawab Tara sambil melepas lamunan. "Ini konsep yang sedang aku pikirkan. Konsep yang akan membawaku naik ke panggung. Jika benar-benar ingin berubah, aku harus total memikirkannya dari sekarang."
Andai bukan desain Tuhan, kepala Ellen mungkin sudah copot mendengar pernyataan Tara. Alisnya saja yang terangkat naik turun. "Konsep apa? Sejak kapan kamu mengerti konsep?"
"Sialan. Gini-gini juga aku pernah kuliah di bidang berbau seni, El, walau tak lulus. Ini konsep biar hidupku berubah. Kamu sendiri tahu, aku sudah suntuk jadi sales. Bayangin, sudah lima tahun jadi sales masih katrok begini terus. Aku mau berpaling.”
Ellen tertawa, mencemooh. "Berubah? Jadi benar-benar mau banting setir? Modalmu opo?"
Tara hening. Tapi kemudian ia menceritakan tentang Andien “Tuhan seakan-akan telah mempertemukan aku dengan sesuatu. Wanita itu bagai cahaya yang membawa terang dalam pikiranku. Aku tiba-tiba takjub melihat sisi lain yang ia bawa. Ternyata seni memang menarik. Entah kenapa aku selalu tergetar jika melihat Andien sedang mementaskan pertunjukan dongeng. Sudah sering aku menemaninya. Aku jadi sering berkhayal suatu saat pertunjukan dongeng wanita itu harus dipentaskan di panggung besar dan aku ada bersamanya di panggung itu. Tapi apa iya aku bisa? Belakangan ini diam-diam aku memikirkannya terus, merenungkannya, berdiskusi dengan otak kananku sendiri, bahkan aku mulai mencoba-coba membuat konsep seperti ini. Aku sedang bertekat mencoba, El. Jika tidak berani mencoba bisa katrok terus kita menjadi sales seumur hidup.”
"Kita? Aku kan sudah lama menyingkir dari kelamnya dunia sales motor. Matematika aku nggak sampek untuk hidup dari situ, kecuali kalau kita punya jabatan seperti Toni di dealer Alila sekarang," Tangan Ellen meraih lipatan kertas di depannya. Lalu ia mengamat-amati coretan tangan belang-belentong di kertas-kertas itu.
Tara sangat antusias menanti tanggapan temannya.
Tapi baru baris-baris pertama yang dilihat, Ellen nyaris lompat. Wong edan ora katoan menemukan dua coretan ide: Rumah Dongeng dan Pentas Akbar! Wajahnya bolak-balik memandang Tara. "Konsep sableng ini, Tar?” Ellen seperti heran, tapi juga merasa prihatin dan haru.
"Kenapa? Itulah yang namanya kreatifitas, El! Itu hasil getaran ide-ide imajinerku."
"Aduh, lagakmu. Kamu benar-benar mau jadi seniman panggung ya, Kar? Kapasitasmu apa? Kuliah sinematografhi aja nggak lulus."
“Andien menginspirasiku. Apa salahnya aku menggagas impian bersama, mendirikan Rumah Dongeng dan merencanakan pertunjukan pentas dongeng di panggung yang gebyar?”
Ellen tertawa, masih mengejek. "Kamu pikir segampang itu. Mimpi ya mimpi, tapi mbok ya jangan seperti pungguk merindukan bulan, Tar."
"Tolonglah, El. Aku butuh pendapat dan dukunganmu. Jangan diejek dulu. Baca dulu. Pahami dulu konsepku itu, baru kita bahas substansinya."
"Weleh, ketinggian bahasamu. Jadi seni dongeng ini yang mau kamu geluti? Jangan-jangan bukan dongengnya yang mau kamu geluti, tapi wanita itu."
"Weh, memangnya aku cowok apaan? Aku hanya ingin cari haluan baru, El. Tolong, kamu pelajari konsep itu dan beri aku masukan.”
Ellen mulai membaca lagi kertas itu
Setelah
beberapa menit tara menegur lagi, “Apa pendapatmu?”
“Berat!”
“Apanya
yang berat, El?”
“Di
sini kamu berencana melibatkan kawan-kawan kita. Mbok ya kamu pikir kawan-kawan kita itu seperti apa? Mereka itu
nggak bakal nyambung sama
urusan-urusan seni seperti ini. Mulut-mulut
asbak kok diajak pentas dongeng di panggung. Bisa-bisa belum pentas
panggungnya sudah kebakaran, meledus!”
Tara menggaruk-garuk kepala. Lalu katanya,
“Justru aku mau mengajak teman-teman berubah juga, El. Belakangan ini di bawah
pohon beringin warung Mak diam-diam aku mulai memperhatikan mereka satu-persatu.
Aku mulai menilai wajah demi wajah, laku demi laku, dan aku simpulkan
masing-masing sebenarnya punya bakat seni terpendam. Aku yakin, untuk sekedar
mementaskan dongeng di panggung, nggak repot lagi mencari stock pemain.”
Ellen spontan tertawa terpingkal-pingkal.
“Kamu ini pikirannya kurang ajar, Tar?”
“Lho,
memangnya rencanaku ini salah?”
“Di konsep ini kamu berencana mementaskan
dongeng hewan. Aku sudah bisa bayangkan nanti kalau Bedul kamu minta memerankan
gajah, Yoni kamu suruh jadi lembu, Jim jadi lutung, atau Boman jadi celeng.
Kurang ajar sampeyan, Tar! Kena
sambet apa kamu tiba-tiba punya inspirasi setinggi langit seperti ini.”
Tara tak tertarik ikut-ikutan
mentertawakan idenya sendiri. Ia justru sewot melihat Ellen kurang serius
menanggapi apa yang sedang serius dipikirkannya. “Ya sudah, apapun tanggapanmu,
aku tetap jalan terus. Konsep ini aku tinggal. Siapa tahu besok kamu berubah
pikiran, El. Untuk sementara cukup kita berdua dulu yang tahu ideku ini.
Dan...”
“Dan opo?”
Wajah Tara agak melunak. “Aku minta
tolong, El.”
“Minta tolong kok terus-terusan. Tolong opo?”
Tara kemudian berkata lembut sekali.
“Kapan-kapan aku mau pinjam laptop kamu, El. Aku mau mulai mencoba membuat
naskah dongeng. Kira-kira seminggu. Boleh, tho?”
“Matamu
sowek! Kalau sudah ada perlu pasti aku terus sasarannya. Sekalian saja aku
ini kamu gantung di pohon, Tar. Sudah tahu aku cari makan dari laptop itu.
Kalau rusak gimana? Kalau laptopnya masuk angin, gimana? Lagipula ngerti apa sampeyan sama laptop? Biar kelihatan keren, gitu? Biar dibilang sudah jadi seniman sukses, gitu?”
“Laptop kok masuk angin,” Tara menggerutu.
“Kalau masuk angin ya gampang, aku lem-biru!”
“Apa, lem-biru
apa?”
“Aku lempar beli baru!”
“Ngawur!”
“Tolonglah aku, El. Kapan-kapan aku pinjam
ya,” Tara merayu.
“Ngelantur
opo ngimpi sampeyan, Rek! Aku ini nggak yakin kamu bisa menulis naskah.
Kamu itu nggak punya kapasitas untuk menulis. Lagipula kalau mau menulis
harusnya kamu konsep dulu di buku tulis biar bagus.”
Tara diam. Agaknya ia berpikir. Lalu, “Oke
deh, bagaimana kalu naskahnya aku konsep dulu pelan-pelan di buku. Setelah
konsepnya jadi nanti, aku minta tolong kamu mengetiknya biar rapi. Kita sepakat
ya, Bro?”
“Ya sudah. Tapi nanti jangan buru-buru
minta selesai. Kamu tahu sendiri aku sekarang semakin banyak tulisan yang harus
diketik dan sedang sibuk-sibuknya.”
“Pasti perempuan cantik yang kamu kenal di
warung Mak itu mulai menyibukkan kamu juga?”
“Ah tahu apa sampeyan! Aku memang lagi banyak kerjaan, Tar. Ide-ide cerita di
kepalaku sedang menumpuk.”
Mendengar kalimat terakhir Ellen, Tara
tiba-tiba teringat sesuatu. “Oh ya, ngomong-ngomong soal cerpen, sekalian saja
kasih ke aku kalau ada titipan untuk Alin. Kasihlah dia komisi dari honor
cerpenmu, El. Dia sebetulnya sewot kamu tulis jadi bahan cerita.”
Ellen sengaja memalingkan muka. “Honornya
belum masuk ke rekeningku!”
“Oh, gitu ya? Oke deh,” Tara berdiri dan
berjalan ke luar pintu.
“Mau kemana lagi kamu? Mau mulai mencari
inspirasi ya?”
Tara hanya cengar-cengir. Kemudian di
depan pintu ia sengaja menyalakan rokok, menyelipkan rokok itu di tepi bibir,
lalu sengaja bergaya seperti seorang Don
Carlo di hadapan Wong edan ora
katoan.
Ellen kelihatan sebal melihat gaya
temannya. “Dasar edan!”
“Aku pulang ya, Bro!” kata Tara, dengan tangan sengaja mencubit pipi Ellen.
“Amit-amit! Edan ya edan, tapi jangan
ganjen Nyet!” Ellen menepis tangan
Tara.
Tara tertawa-tawa. Lalu tak lama terdengar
raungan mesin motornya berlalu dari rumah Ellen.
Di malam yang sama, sementara Tara
baru berlalu dari rumah Ellen, di tempat lain tampak Joe sedang kalang-kabut
karena ia mnerima telpon tak terduga dari seorang wanita yang dianggapnya
misterius. Wanita itu menangis, putus asa, ia ingin Joe menemuinya. Lewat
telpon wanita itu kemudian menuntun Joe ke alamatnya, dan begitu tiba Joe
langsung merasa kesal karena ternyata alamat itu adalah alamat rumah temannya
sendiri. Di depan rumah bertembok batu-bata, tak berpagar, berhalaman gersang,
dipenuhi serakan batu kacau-balau, Joe dibuat serba salah karena si wanita
menyambutnya dengan tangis tersedu-sedu. Dengan langkah sungkan Joe terpaksa
masuk ke rumah itu. Joe menghempaskan tubuh di salah satu kursi yang menghadap
ke sebuah lemari buruk dan sebuah rak sepatu kusam. Sebuah televisi 20 inci dan
sebuah lemari pendingin satu pintu tampak teronggok di ruang tengah, dan
agaknya hanya itu benda mewah di rumah itu.
“Mana Boman?” tanya Joe. Ekspresinya jelas
heran. Seharusnya bukan wanita itu yang menelponnya, tapi suaminya: Boman!
Wanita sederhana yang kelihatan masih totok kampung itu tak menjawab. Justru
airmatanya semakin banyak tumpah. Anaknya yang masih kecil-kecil ikut menangis,
kecuali yang tertua. Joe gugup. Sosok wanita di hadapannya itu tentu saja si
Lasmi, istri Boman. Lasmi, wanita cantik berambut panjang, bertubuh padat
berisi, malam itu penampilannya tampak tak teratur di bawah temaram lampu.
Airmata membuat sorot lentik di matanya memudar. Rambutnya awut-awutan. Rona
wajahnya memerah. Ada apa gerangan ia menangis? Sangat tak waras jika Boman
mengkhianati wanita ini, pikir Joe. Terkutuklah Boman menjadi bati jika ia
berselingkuh menyakiti Lasmi.
“Mana Boman?” Joe bertanya lagi.
Dengan isak dan suara terputus-putus
akhirnya Lasmi menceritakan apa yang terjadi.
Setelah mendengar cerita itu, wajag Joe
jadi cemas.
Ternyata Boman sedang dalam bahaya.
Seseorang, entah siapa, merasa telah dipermainkan Boman. Orang itu mengancam
jika Boman tidak menyelesaikan urusannya malam ini, ia akan membawa polisi
untuk mencari dan menangkap Boman.
Sebulan terakhir, saat penjualan motor
baru di dealer sedang tak menentu, ternyata diam-diam Boman menjalankan bisnis
sampingan. Ia coba-coba menjadi “makelar” jual-beli motor bekas. Tapi belum
sempat merasakan manis hasilnya, si pesek mata satu itu sudah terbentur masalah
seperti ini. Orang yang menjadi mitra bisnisnya itu merasa tertipu dan
menganggap Boman menjual motor bekas kepadanya tak sesuai seperti yang
dijanjikan. Sambil menahan motor bekas yang kondisinya dianggap mengecewakan,
orang itu meminta Boman mengembalikan uangnya sekarang juga. Tragisnya Boman
tak tahu darimana ia dapat uang untuk mengembalikannya. Boman kalang-kabut.
Ternyata Boman ditipu juga oleh pemilik motor yang menjual kepadanya dan
sekarang orang itu sudah kabur tak tahu rimbanya. Joe tak bisa membayangkan apa
yang dirasakan Boman. Menurut Lasmi, Boman sejak sore sudah pontang-panting
mencari uang. Boman juga yang menyuruh Lasmi menghubungi Joe, meminjam telpon
tetangganya, karena semua handphone milik mereka sudah dijual. Yang mengejutkan
Joe, menurut penuturan Lasmi, Boman juga sudah menjual motornya. Uang itu
ternyata masih kurang. Boman telah titip pesan pada istrinya agar Joe menunggu
sampai ia pulang. Jika uangnya sudah cukup hingga malam ini, Boman ingin Joe
yang menemaninya menemui mitra bisnis itu.
Lasmi masih menangis saat menghidangkan
kopi untuk Joe. “Nasib bojoku kok apek tenan yo, Mas,” isaknya.
“Sabar, Mbak. Mudah-mudahan malam ini
semua bisa selesai,” kata Joe.
Tak lama di depan rumah muncul sebuah
motor roda tiga dengan bak gandeng di belakangnya. Suara mesin motor itu
menderu-deru. Joe cepat-cepat berdiri melihat dari depan pintu. Selain melihat
pengemudinya yang duduk di depan, Joe melihat juga dua pria bergegas melompat
dari atas bak. Salah satu pria itu ternyata Boman. Malam itu paras Boman
seperti orang sedang dikejar setan.
“Maaf Joe aku sudah membuatmu repot. Aku
memang kacau malam ini. Istriku pasti sudah cerita. Masalahku berat sekali,
Joe. Harus tuntas malam ini. Jika tidak bisa mampus aku.”
Hanya mengucapkan itu, lalu Boman
tergesa-gesa masuk ke rumah diikuti dua orang yang datang bersamanya. Yang satu
orang pantatnya tepos, yang seorang lagi berambut kuncir buntut kuda. Kemudian
Joe melihat bagaimana si pantat tepos tanpa sungkan-sungkan mengangkat televisi
dari tengah ruangan, sementara Boman dibantu si rambut buntut kuda saling
bekerjasama mengangkat kulkas. Dua benda itu mereka naikkan ke atas bak motor
roda tiga.
Airmata Lasmi yang tadi sempat reda mau
tak mau terurai lagi begitu ia melihat dua benda paling berharga itu terenggut
dari rumahnya. Namun di balik tangis ia tampak berusaha sekuat-kuatnya
merelakan. Semua tentu saja demi cintanya pada someone tersayang: Aak Boman!
Joe hanya tercengang melihat pemandangan
itu. Sungguh cobaan datangnya tak bisa dikira. Tak lama Joe melihat si rambut
buntut kuda sudah duduk di kemudi motornya. Si pantat tepos duduk di bak
belakang. Setelah keduanya berpamitan dan menyerahkan sejumlah uang kepada
Boman, mesin motor itu terdengar meraung-raung lagi dan berlalu.
Tak banyak lagi percakapan Boman kepada
Joe kecuali ia hanya berujar, “Sekarang juga Joe tolong temani aku menemui
orang itu. Motorku sudah dijual. Tak ada lagi yang berharga sekarang. Aku hanya
bersyukur uangnya sekarang sudah cukup.”
Joe geleng-geleng kepala menunjukkan rasa
prihatinnya. Sementara Lasmi sudah tak tampak. Wanita itu mungkin sudah masuk
ke kamar menenggelamkan wajah sedihnya di bantal. Lalu malam itu juga Joe dan
Boman berboncengan ke alamat rumah yang mereka tuju.
Dan malam terasa dingin, mencekam, di
daerah pesisir Teluk Betung ketika motor Joe mulai merayap pelan di gang sempit
sebuah pemukiman padat tepi laut. Jam menunjukkan pukul sembilan. Desir angin
laut yang terasa pulut di kulit tak henti-hentinya berhembus. Motor Joe terus
merayap dan gang yang mereka masuki mulai berkelok-kelok. Joe mengemudi hanya
mengikuti petunjuk mulut Boman. Semakin masuk ke dalam, suara dbur ombak
semakin nyata terdengar di pemukiman itu.
“Stop. Ini rumahnya!” Akhirnya Boman
memberi aba-aba berhenti. Boman sudah melompat turun sebelum motor Joe benar-benar
berhenti.
Sesaat kemudian dua sahabat itu sudah
berdiri di depan pintu sebuah rumah bercat putik tak berhalaman. Motor Joe
diparkir merapat di pinggir gang. Berkali-kali Boman mengetuk rumah itu, namun
belum terdengar jawaban. Dari luar rumah itu memang tampak sepi. Joe melihat
wajah Boman sangat tak nyaman. Tampak jelas bintik-bintik keringat mengembun di
wajahnya.
“Kamu nanti jangan kaget, Joe. Laki-laki
ini tipe tempramental yang tak bisa diajak kompromi,” bisik Boman.
Joe mengangguk. “Apapun reaksinya nanti,
akui saja kamu bersalah dan jangan henti-hentinya minta maaf,” bisiknya pula.
“Ya, sudah aku pikirkan,” kata Boman.
Lamat-lamat terdengar langkah dari dalam
dan muncul seorang perempuan berjilbab membuka pintu.
“Maaf Ibu Haji, ada Bapak?” Boman menyapa
dengan ramah.
“Masuk.” Hanya itu yang terdengar dari
mulut perempuan gemuk berumur sekitar limapuluh tahun itu. Lalu ia menghilang
ke dalam.
Kurang dari satu menit Joe dan Boman sudah
duduk di kursi tamu. Keduanya mematung tak bergerak. Joe hanya memperhatikan
seisi ruangan depan rumah itu. Selain tampak beberapa guci duduk mahal,
hiasan-hiasan dinding kaligrafhi di berbagai sudut, Joe juga memperhatikan
dengan seksama beberapa foto berbingkai yang berderet di atas sebuah lemari
hiasan kecil di sudut ruangan. Dari foto-foto itu tampak jelas bahwa penghuni
rumah adalah insan-insan religius. Di salah satu foto Joe melihat figur sosok
lelaki berkulit gelap, tinggi besar, mengenakan pakaian ihram, sedang berdiri
penuh gaya berlatar belakang Ka’bah, dan meski usianya bisa ditaksir terbilang
tua namun penampilannya masih gagah. Joe yakin lelaki itu yang sedang berurusan
dengan Boman. Dari melihat foto-foto itu ketegangan Joe agak mencair. Joe
berubah optimis bahwa tuan rumah adalah sosok yang memiliki kematangan
spiritual. Dalam menyikapi hidup ini, sholat dan sabar jelas telah membimbing
mereka menjadi insan-insan pemaaf. Terlebih lagi, ia telah menunaikan ibadah
haji di tanah suci. Tak mungkin hanya karena uang yang masalahnya bisa
diselesaikan baik-baik si tuan rumah mengabaikan nilai-nilai dan identitas
religius yang membungkusnya. Uang bisa dicari, tapi nilai manusia di mata Tuhan
adalah nur hidayah yang tak bisa
ditukar dengan dunia serta seisinya. Siapa yang menebar kasih sayang di muka
bumi, bukankah ia akan diberkahi oleh Langit? Nilai-nilai baik dan mulia dari
orang-orang religius bisa Joe lihat dari kehidupan mertuanya sendiri yang
dikenal sebgai guru mengaji.
Benar saja. Tak salah. Lelaki yang
kemudian menampakkan dirinya menemui Joe dan Boman di ruangan itu tak
sedikitpun berbeda dari sosok yang Joe lihat di foto. Lelaki itu muncul
mengenakan kopiah putih dan pakaian putih-putih khas seorang muslim. Tak ada
yang cela dari sekilas penampilan laki-laki itu.
Tapi Joe segera kecewa. Lelaki itu belum
apa-apa sudah menampakkan wajah sinis tak bersahabat. Bahkan saat Joe
mengulurkan tangan hendak menyalaminya, laki-laki itu malah menepisnya dengan
kasar. Laki-laki itu memandang dengan sorot mata tajam. Wajahnya merah padam,
membara, seperti dibakar api. Angkuh. Arogan. Caranya melihat Joe dan Boman tak
ubah seperti ia melihat kotoran. Pandangannya kemudian paling banyak mencecar
Boman.
Joe jadi iba melihat Boman yang hanya
duduk melengkung tak berani mengangkat pandangan.
“Jadi kamu mau apa sekarang?” Laki-laki
itu menghardik dan menuding Boman.
Si bajak
laut mata satu hanya berani melirik Joe dengan ekor matanya. Wajahnya
pucat. Tubuhnya seketika beku sedingin es.
“Ayo ngomong! Apa mau kamu sekarang?”
hardikan laki-laki itu terdengar lebih keras.
Joe menginjak jempol kaki si bajak laut agar temannya itu bicara.
Boman bicara juga. Tapi suaranya kecil
sekali seperti suara bayi kucing. “Begini Pak Haji, saya datang ke sini mau
menyelesaikan masalah ini,” suaranya terbata-bata.
“Kenapa kamu bawa orang? Ini urusan kamu
sama saya. Kenapa kamu bawa dia?” telunjuk laki-laki yang dipanggil “Pak Haji”
itu menuding ke arah Joe. “Hei, kamu siapa?”
“Maaf Pak Haji, saya ikut ke sini hanya
untuk mengawal dia,” jawab Joe gugup.
“Oh begitu maksudnya?” Tiba-tiba laki-laki
itu berdiri. Ia mencak-mencak ke
pintu dan mengunci pintu itu dari dalam. Kunci pintu ia cabut dan pegang.
“Kalau itu mau kalian akan saya layani. Kamu, kamu, ayo kita berkelahi
sekarang! Jangan pikir saya sudah tua tidak berani koboi-koboian ya!”
Joe hanya istighfar di hati melihat tingkah laku laki-laki itu. Hanya karena uang kau rendahkan kemuliaanmu
dalam persaksian Allah. Bagaimana kau akan rela menjihadkan seluruh harta
bendamu untuk agamamu.
“Ayo, kenapa diam. Ayo lawan saya!”
laki-laki itu menggulung lengan bajunya dan semakin mencak-mencak tak karuan.
“Kami nggak
berani, Pak Haji,” terdengar suara menyedihkan dari bibir Boman.
“Dasar setan kamu, Man!” laki-laki itu
menyepak meja dan sengaja mengarahkannya agar mengenai kaki Boman.
Boman diam.
Joe tak henti-hentinya istighfar dalam hati.
Akhirnya laki-laki itu duduk lagi. Tapi
wajahnya tetap murka. “Kamu mau coba-coba menipu saya ya, Man? Motor rusak kamu
bilang bagus. Setan kamu!”
“Saya mengaku salah. Saya minta maaf, Pak
Haji.”
“Enak betul bilang maaf. Dasar setan! Jadi
sekarang kamu mau apa?”
“Saya mau mengembalikan semua uang Pak
Haji yang kemarin. Saya juga telah ditipu, Pak Haji. Saya nggak tahu motor itu
rusak,” ujar Boman yang masih duduk membungkuk.
“Saya nggak mau tahu! Kamu juga tahu kan saya ini pedagang? Ingat,
saya ini pedagang, bukan pebisnis. Satu hari saja uang saya tidak berputar,
berapa kerugian saya? Mengerti kamu!”
“Saya mengerti, Pak Haji.”
“Jangan hanya bicara. Pikirkan kerugian
saya!”
“Jika Pak Haji sudah merasa rugi, saya
bersedia mengganti kerugian Pak Haji.”
“Harus!”
Joe
memandang Boman. Ia semakin iba melihat nasib temannya yang ditekan. Sementara,
ketika memandang wajah si tuan rumah, ia merasa muak melihat keangkuhan musang
berbulu domba itu.
“Berapa kira-kira sya harus mengganti
rugi, Pak Haji?” Boman bertanya dengan suara terpatah-patah.
“Saya yang menentukan, bukan kamu!
Sekarang bawa sini uang saya kemarin. Sembilan juta. Tambah lagi ganti ruginya
satu juta. Motornya ada di belakang, tinggal kamu bawa begitu urusan ini
selesai.”
Terperanjat, Boman hanya memandang wajah
Joe. Ia seperti ingin mengatakan uang yang dibawanya tak mencukupi sebagaimana
yang ditentukan Pak Haji. Tapi kemudian Boman tetap nekat mengeluarkan semua
uang yang ia bawa. Di depan Pak Haji ia menghitungnya dengan teliti. Setelah
selesai menghitung barulah ia berkata, “Ini jumlah semuanya sembilan juta enam
ratus ribu, Pak Haji. Kekurangannya masih empat ratus ribu. Saya janji
kekurangannya besok saya antar.”
“Tidak bisa!” laki-laki itu menggebrak
meja. “Harus malam ini. Kalau kekurangannya masih besok, motor rusak itu saya
ambil.”
Boman memandang lagi ke Joe. Ia seperti
berharap sesuatu. Joe mengerti maksud temannya itu. Lalu Joe berinisiatif
sendiri.
“Begini Pak Haji, kekurangannya tetap kami
tutup malam ini. Tapi saya minta ke ATM dulu ambil uangnya,” begitulah kata
Joe.
“Silahkan. Saya tunggu!”
Akhirnya Joe berangkat sendiri ke ATM.
Sementara Joe pergi, laki-laki itu bergegas ke belakang dan mengeluarkan motor
yang menjadi biang sengketa. Sepuluh menit kemudian Joe sudah muncul kembali
membawa uang yang langsung diserahkannya. Urusannya selesai. Tak mau menunggu
lama-lama akhirnya Joe dan Boman buru-buru meninggalkan rumah laki-laki itu.
Joe mengendarai motornya sendiri, sementara Boman menaiki motor “sengketa” yang
tiba-tiba suara mesinnya berubah jadi hancur seperti suara mesin jahit itu.
Begitulah. Peristiwa itu menjadi pelajaran
bagi Joe, bahwa penampilan dan identitas belum pasti mencerminkan sikap dan
hati seseorang. Itu mengingatkannya kembali pada sebuah nasehat yang pernah ia
baca bahwa masih banyak manusia yang
hidupnya tampil dalam dua sisi: di satu sisi mereka berkhayal Tuhan telah
membimbing mereka tapi di sisi lain mereka memainkan ironi mempertuhankan uang.
Joe juga jadi ingat dengan nasehat ini: suatu
masa akan tiba keimanan hanya tinggal pakaian dan pemikiran yang tak berbekas
dalam perbuatan!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar