ostradata.com

ostradata.com

Selasa, 24 September 2013

MAN & MOON (Delapan)



Suara motor bergemuruh di depan. Tak lama terdengar langkah kaki masuk diiringi batuk-batuk. Ellen hanya mengintip dari pintu kamar mandi, pura-pura tak peduli pada yang datang.


"Orang-orang idealis pasti melarat!" tiba-tiba Tara, tamu tak diundang itu, sudah duduk di kursi rumah kontrakannya dan melempar sebuah lipatan  kertas di meja.

Selesai mandi Ellen masih pura-pura tak melihat si lancang yang  masuk  rumahnya tanpa salam. Ia menyelonong dari kamar mandi ke kamarnya tanpa suara. Sambil menyisir di cermin, ia hanya sempat berpikir-pikir maksud omelan Tara. Siapa yang idealis siapa yang melarat? Ellen hanya terheran-heran. Akhirnya ia keluar sambil bersiul-siul. Tak didengarnya lagi suara Tara  kecuali mendapati pria itu terpojok dalam lamunan. Ellen mengamati meja. Dipegangnya lipatan  kertas yang dibawa Tara.

"Apa ini, Tar?"

"Konsep," jawab Tara sambil melepas lamunan. "Ini konsep yang sedang  aku pikirkan. Konsep yang akan membawaku naik ke  panggung. Jika benar-benar ingin berubah, aku harus total memikirkannya  dari sekarang."

Andai bukan desain Tuhan, kepala Ellen mungkin sudah copot mendengar pernyataan Tara. Alisnya saja yang terangkat naik turun. "Konsep apa? Sejak kapan kamu mengerti konsep?"

"Sialan. Gini-gini juga aku pernah kuliah di bidang berbau seni, El, walau tak lulus. Ini konsep biar hidupku berubah. Kamu sendiri tahu, aku sudah suntuk jadi sales. Bayangin, sudah lima tahun jadi sales masih katrok begini terus. Aku mau berpaling.”

Ellen tertawa, mencemooh. "Berubah? Jadi benar-benar mau banting setir? Modalmu opo?"

Tara hening. Tapi kemudian ia menceritakan tentang Andien “Tuhan seakan-akan telah mempertemukan aku dengan sesuatu. Wanita itu bagai cahaya yang membawa terang dalam pikiranku. Aku tiba-tiba takjub melihat sisi lain yang  ia bawa. Ternyata seni memang menarik. Entah kenapa aku selalu tergetar jika melihat Andien sedang mementaskan pertunjukan dongeng. Sudah sering aku menemaninya. Aku jadi sering berkhayal suatu saat pertunjukan dongeng wanita itu harus dipentaskan  di panggung besar dan aku ada bersamanya di panggung itu. Tapi apa iya aku bisa? Belakangan ini diam-diam aku memikirkannya terus, merenungkannya, berdiskusi dengan otak kananku sendiri, bahkan aku mulai mencoba-coba membuat konsep seperti ini. Aku sedang bertekat mencoba, El. Jika tidak berani mencoba bisa katrok terus kita menjadi sales seumur hidup.”

"Kita? Aku kan sudah lama menyingkir dari kelamnya dunia sales motor. Matematika aku nggak sampek untuk hidup dari situ, kecuali kalau kita punya jabatan seperti Toni di dealer Alila sekarang," Tangan Ellen meraih lipatan  kertas di depannya. Lalu ia mengamat-amati coretan tangan belang-belentong di kertas-kertas itu.

Tara sangat antusias menanti tanggapan temannya.

Tapi baru baris-baris  pertama yang dilihat, Ellen nyaris lompat. Wong edan ora katoan  menemukan dua coretan ide: Rumah Dongeng dan Pentas Akbar! Wajahnya bolak-balik memandang Tara. "Konsep sableng ini, Tar?” Ellen seperti heran, tapi juga merasa prihatin dan haru.

"Kenapa? Itulah yang namanya kreatifitas, El! Itu hasil getaran ide-ide imajinerku."

"Aduh, lagakmu. Kamu benar-benar mau jadi seniman panggung ya, Kar? Kapasitasmu apa? Kuliah sinematografhi aja nggak lulus."

“Andien menginspirasiku. Apa salahnya aku  menggagas impian bersama, mendirikan Rumah Dongeng dan merencanakan pertunjukan pentas dongeng di panggung yang gebyar?”

Ellen tertawa, masih mengejek. "Kamu  pikir segampang itu. Mimpi ya mimpi, tapi mbok ya jangan seperti pungguk merindukan bulan, Tar."

"Tolonglah, El. Aku butuh pendapat dan dukunganmu.  Jangan diejek dulu. Baca dulu. Pahami dulu konsepku itu, baru kita bahas substansinya."

"Weleh, ketinggian bahasamu. Jadi  seni dongeng ini yang mau kamu geluti? Jangan-jangan bukan dongengnya yang mau kamu geluti, tapi wanita itu."

"Weh, memangnya aku cowok apaan? Aku hanya ingin cari haluan baru, El. Tolong, kamu pelajari konsep itu dan beri aku masukan.”

Ellen mulai membaca lagi kertas itu
Setelah beberapa menit tara menegur lagi, “Apa pendapatmu?”
“Berat!”
“Apanya yang berat, El?”
“Di sini kamu berencana melibatkan kawan-kawan kita. Mbok ya kamu pikir kawan-kawan kita itu seperti apa? Mereka itu nggak bakal nyambung sama urusan-urusan seni seperti ini. Mulut-mulut asbak kok diajak pentas dongeng di panggung. Bisa-bisa belum pentas panggungnya sudah kebakaran, meledus!”
     Tara menggaruk-garuk kepala. Lalu katanya, “Justru aku mau mengajak teman-teman berubah juga, El. Belakangan ini di bawah pohon beringin warung Mak diam-diam aku mulai memperhatikan mereka satu-persatu. Aku mulai menilai wajah demi wajah, laku demi laku, dan aku simpulkan masing-masing sebenarnya punya bakat seni terpendam. Aku yakin, untuk sekedar mementaskan dongeng di panggung, nggak repot lagi mencari stock pemain.”

     Ellen spontan tertawa terpingkal-pingkal. “Kamu ini pikirannya kurang ajar, Tar?”

     Lho, memangnya rencanaku ini salah?”

     “Di konsep ini kamu berencana mementaskan dongeng hewan. Aku sudah bisa bayangkan nanti kalau Bedul kamu minta memerankan gajah, Yoni kamu suruh jadi lembu, Jim jadi lutung, atau Boman jadi celeng. Kurang ajar sampeyan, Tar! Kena sambet apa kamu tiba-tiba punya inspirasi setinggi langit seperti ini.”

     Tara tak tertarik ikut-ikutan mentertawakan idenya sendiri. Ia justru sewot melihat Ellen kurang serius menanggapi apa yang sedang serius dipikirkannya. “Ya sudah, apapun tanggapanmu, aku tetap jalan terus. Konsep ini aku tinggal. Siapa tahu besok kamu berubah pikiran, El. Untuk sementara cukup kita berdua dulu yang tahu ideku ini. Dan...”

     “Dan opo?”

     Wajah Tara agak melunak. “Aku minta tolong, El.”

     “Minta tolong kok terus-terusan. Tolong opo?”

     Tara kemudian berkata lembut sekali. “Kapan-kapan aku mau pinjam laptop kamu, El. Aku mau mulai mencoba membuat naskah dongeng. Kira-kira seminggu. Boleh, tho?”

     Matamu sowek! Kalau sudah ada perlu pasti aku terus sasarannya. Sekalian saja aku ini kamu gantung di pohon, Tar. Sudah tahu aku cari makan dari laptop itu. Kalau rusak gimana? Kalau laptopnya masuk angin, gimana? Lagipula ngerti apa sampeyan sama laptop? Biar kelihatan keren, gitu? Biar dibilang sudah jadi seniman sukses, gitu?”
     “Laptop kok masuk angin,” Tara menggerutu. “Kalau masuk angin ya gampang, aku lem-biru!”
     “Apa, lem-biru apa?”
     “Aku lempar beli baru!”
     “Ngawur!”
     “Tolonglah aku, El. Kapan-kapan aku pinjam ya,” Tara merayu.
     Ngelantur opo ngimpi sampeyan, Rek! Aku ini nggak yakin kamu bisa menulis naskah. Kamu itu nggak punya kapasitas untuk menulis. Lagipula kalau mau menulis harusnya kamu konsep dulu di buku tulis biar bagus.”
     Tara diam. Agaknya ia berpikir. Lalu, “Oke deh, bagaimana kalu naskahnya aku konsep dulu pelan-pelan di buku. Setelah konsepnya jadi nanti, aku minta tolong kamu mengetiknya biar rapi. Kita sepakat ya, Bro?”

     “Ya sudah. Tapi nanti jangan buru-buru minta selesai. Kamu tahu sendiri aku sekarang semakin banyak tulisan yang harus diketik dan sedang sibuk-sibuknya.”

     “Pasti perempuan cantik yang kamu kenal di warung Mak itu mulai menyibukkan kamu juga?”

     “Ah tahu apa sampeyan! Aku memang lagi banyak kerjaan, Tar. Ide-ide cerita di kepalaku sedang menumpuk.”

     Mendengar kalimat terakhir Ellen, Tara tiba-tiba teringat sesuatu. “Oh ya, ngomong-ngomong soal cerpen, sekalian saja kasih ke aku kalau ada titipan untuk Alin. Kasihlah dia komisi dari honor cerpenmu, El. Dia sebetulnya sewot kamu tulis jadi bahan cerita.”

     Ellen sengaja memalingkan muka. “Honornya belum masuk ke rekeningku!”

     “Oh, gitu ya? Oke deh,” Tara berdiri dan berjalan ke luar pintu.

     “Mau kemana lagi kamu? Mau mulai mencari inspirasi ya?”

     Tara hanya cengar-cengir. Kemudian di depan pintu ia sengaja menyalakan rokok, menyelipkan rokok itu di tepi bibir, lalu sengaja bergaya seperti seorang Don Carlo di hadapan Wong edan ora katoan.

     Ellen kelihatan sebal melihat gaya temannya. “Dasar edan!”

     “Aku pulang ya, Bro!” kata Tara, dengan tangan sengaja mencubit pipi Ellen.

     “Amit-amit! Edan ya edan, tapi jangan ganjen Nyet!” Ellen menepis tangan Tara.

     Tara tertawa-tawa. Lalu tak lama terdengar raungan mesin motornya berlalu dari rumah Ellen.


Di malam yang sama, sementara Tara baru berlalu dari rumah Ellen, di tempat lain tampak Joe sedang kalang-kabut karena ia mnerima telpon tak terduga dari seorang wanita yang dianggapnya misterius. Wanita itu menangis, putus asa, ia ingin Joe menemuinya. Lewat telpon wanita itu kemudian menuntun Joe ke alamatnya, dan begitu tiba Joe langsung merasa kesal karena ternyata alamat itu adalah alamat rumah temannya sendiri. Di depan rumah bertembok batu-bata, tak berpagar, berhalaman gersang, dipenuhi serakan batu kacau-balau, Joe dibuat serba salah karena si wanita menyambutnya dengan tangis tersedu-sedu. Dengan langkah sungkan Joe terpaksa masuk ke rumah itu. Joe menghempaskan tubuh di salah satu kursi yang menghadap ke sebuah lemari buruk dan sebuah rak sepatu kusam. Sebuah televisi 20 inci dan sebuah lemari pendingin satu pintu tampak teronggok di ruang tengah, dan agaknya hanya itu benda mewah di rumah itu.

     “Mana Boman?” tanya Joe. Ekspresinya jelas heran. Seharusnya bukan wanita itu yang menelponnya, tapi suaminya: Boman!

     Wanita sederhana yang kelihatan masih totok kampung itu tak menjawab. Justru airmatanya semakin banyak tumpah. Anaknya yang masih kecil-kecil ikut menangis, kecuali yang tertua. Joe gugup. Sosok wanita di hadapannya itu tentu saja si Lasmi, istri Boman. Lasmi, wanita cantik berambut panjang, bertubuh padat berisi, malam itu penampilannya tampak tak teratur di bawah temaram lampu. Airmata membuat sorot lentik di matanya memudar. Rambutnya awut-awutan. Rona wajahnya memerah. Ada apa gerangan ia menangis? Sangat tak waras jika Boman mengkhianati wanita ini, pikir Joe. Terkutuklah Boman menjadi bati jika ia berselingkuh menyakiti Lasmi.

     “Mana Boman?” Joe bertanya lagi.

     Dengan isak dan suara terputus-putus akhirnya Lasmi menceritakan apa yang terjadi.

     Setelah mendengar cerita itu, wajag Joe jadi cemas.

     Ternyata Boman sedang dalam bahaya. Seseorang, entah siapa, merasa telah dipermainkan Boman. Orang itu mengancam jika Boman tidak menyelesaikan urusannya malam ini, ia akan membawa polisi untuk mencari dan menangkap Boman.

     Sebulan terakhir, saat penjualan motor baru di dealer sedang tak menentu, ternyata diam-diam Boman menjalankan bisnis sampingan. Ia coba-coba menjadi “makelar” jual-beli motor bekas. Tapi belum sempat merasakan manis hasilnya, si pesek mata satu itu sudah terbentur masalah seperti ini. Orang yang menjadi mitra bisnisnya itu merasa tertipu dan menganggap Boman menjual motor bekas kepadanya tak sesuai seperti yang dijanjikan. Sambil menahan motor bekas yang kondisinya dianggap mengecewakan, orang itu meminta Boman mengembalikan uangnya sekarang juga. Tragisnya Boman tak tahu darimana ia dapat uang untuk mengembalikannya. Boman kalang-kabut. Ternyata Boman ditipu juga oleh pemilik motor yang menjual kepadanya dan sekarang orang itu sudah kabur tak tahu rimbanya. Joe tak bisa membayangkan apa yang dirasakan Boman. Menurut Lasmi, Boman sejak sore sudah pontang-panting mencari uang. Boman juga yang menyuruh Lasmi menghubungi Joe, meminjam telpon tetangganya, karena semua handphone milik mereka sudah dijual. Yang mengejutkan Joe, menurut penuturan Lasmi, Boman juga sudah menjual motornya. Uang itu ternyata masih kurang. Boman telah titip pesan pada istrinya agar Joe menunggu sampai ia pulang. Jika uangnya sudah cukup hingga malam ini, Boman ingin Joe yang menemaninya menemui mitra bisnis itu.

     Lasmi masih menangis saat menghidangkan kopi untuk Joe. “Nasib bojoku kok apek tenan yo, Mas,” isaknya.

     “Sabar, Mbak. Mudah-mudahan malam ini semua bisa selesai,” kata Joe.

     Tak lama di depan rumah muncul sebuah motor roda tiga dengan bak gandeng di belakangnya. Suara mesin motor itu menderu-deru. Joe cepat-cepat berdiri melihat dari depan pintu. Selain melihat pengemudinya yang duduk di depan, Joe melihat juga dua pria bergegas melompat dari atas bak. Salah satu pria itu ternyata Boman. Malam itu paras Boman seperti orang sedang dikejar setan.

     “Maaf Joe aku sudah membuatmu repot. Aku memang kacau malam ini. Istriku pasti sudah cerita. Masalahku berat sekali, Joe. Harus tuntas malam ini. Jika tidak bisa mampus aku.”

     Hanya mengucapkan itu, lalu Boman tergesa-gesa masuk ke rumah diikuti dua orang yang datang bersamanya. Yang satu orang pantatnya tepos, yang seorang lagi berambut kuncir buntut kuda. Kemudian Joe melihat bagaimana si pantat tepos tanpa sungkan-sungkan mengangkat televisi dari tengah ruangan, sementara Boman dibantu si rambut buntut kuda saling bekerjasama mengangkat kulkas. Dua benda itu mereka naikkan ke atas bak motor roda tiga.

     Airmata Lasmi yang tadi sempat reda mau tak mau terurai lagi begitu ia melihat dua benda paling berharga itu terenggut dari rumahnya. Namun di balik tangis ia tampak berusaha sekuat-kuatnya merelakan. Semua tentu saja demi cintanya pada someone tersayang: Aak Boman!

     Joe hanya tercengang melihat pemandangan itu. Sungguh cobaan datangnya tak bisa dikira. Tak lama Joe melihat si rambut buntut kuda sudah duduk di kemudi motornya. Si pantat tepos duduk di bak belakang. Setelah keduanya berpamitan dan menyerahkan sejumlah uang kepada Boman, mesin motor itu terdengar meraung-raung lagi dan berlalu.

     Tak banyak lagi percakapan Boman kepada Joe kecuali ia hanya berujar, “Sekarang juga Joe tolong temani aku menemui orang itu. Motorku sudah dijual. Tak ada lagi yang berharga sekarang. Aku hanya bersyukur uangnya sekarang sudah cukup.”

     Joe geleng-geleng kepala menunjukkan rasa prihatinnya. Sementara Lasmi sudah tak tampak. Wanita itu mungkin sudah masuk ke kamar menenggelamkan wajah sedihnya di bantal. Lalu malam itu juga Joe dan Boman berboncengan ke alamat rumah yang mereka tuju.

     Dan malam terasa dingin, mencekam, di daerah pesisir Teluk Betung ketika motor Joe mulai merayap pelan di gang sempit sebuah pemukiman padat tepi laut. Jam menunjukkan pukul sembilan. Desir angin laut yang terasa pulut di kulit tak henti-hentinya berhembus. Motor Joe terus merayap dan gang yang mereka masuki mulai berkelok-kelok. Joe mengemudi hanya mengikuti petunjuk mulut Boman. Semakin masuk ke dalam, suara dbur ombak semakin nyata terdengar di pemukiman itu.

     “Stop. Ini rumahnya!” Akhirnya Boman memberi aba-aba berhenti. Boman sudah melompat turun sebelum motor Joe benar-benar berhenti.

     Sesaat kemudian dua sahabat itu sudah berdiri di depan pintu sebuah rumah bercat putik tak berhalaman. Motor Joe diparkir merapat di pinggir gang. Berkali-kali Boman mengetuk rumah itu, namun belum terdengar jawaban. Dari luar rumah itu memang tampak sepi. Joe melihat wajah Boman sangat tak nyaman. Tampak jelas bintik-bintik keringat mengembun di wajahnya.

     “Kamu nanti jangan kaget, Joe. Laki-laki ini tipe tempramental yang tak bisa diajak kompromi,” bisik Boman.

      Joe mengangguk. “Apapun reaksinya nanti, akui saja kamu bersalah dan jangan henti-hentinya minta maaf,” bisiknya pula.

     “Ya, sudah aku pikirkan,” kata Boman.

     Lamat-lamat terdengar langkah dari dalam dan muncul seorang perempuan berjilbab membuka pintu.

     “Maaf Ibu Haji, ada Bapak?” Boman menyapa dengan ramah.

     “Masuk.” Hanya itu yang terdengar dari mulut perempuan gemuk berumur sekitar limapuluh tahun itu. Lalu ia menghilang ke dalam.

     Kurang dari satu menit Joe dan Boman sudah duduk di kursi tamu. Keduanya mematung tak bergerak. Joe hanya memperhatikan seisi ruangan depan rumah itu. Selain tampak beberapa guci duduk mahal, hiasan-hiasan dinding kaligrafhi di berbagai sudut, Joe juga memperhatikan dengan seksama beberapa foto berbingkai yang berderet di atas sebuah lemari hiasan kecil di sudut ruangan. Dari foto-foto itu tampak jelas bahwa penghuni rumah adalah insan-insan religius. Di salah satu foto Joe melihat figur sosok lelaki berkulit gelap, tinggi besar, mengenakan pakaian ihram, sedang berdiri penuh gaya berlatar belakang Ka’bah, dan meski usianya bisa ditaksir terbilang tua namun penampilannya masih gagah. Joe yakin lelaki itu yang sedang berurusan dengan Boman. Dari melihat foto-foto itu ketegangan Joe agak mencair. Joe berubah optimis bahwa tuan rumah adalah sosok yang memiliki kematangan spiritual. Dalam menyikapi hidup ini, sholat dan sabar jelas telah membimbing mereka menjadi insan-insan pemaaf. Terlebih lagi, ia telah menunaikan ibadah haji di tanah suci. Tak mungkin hanya karena uang yang masalahnya bisa diselesaikan baik-baik si tuan rumah mengabaikan nilai-nilai dan identitas religius yang membungkusnya. Uang bisa dicari, tapi nilai manusia di mata Tuhan adalah nur hidayah yang tak bisa ditukar dengan dunia serta seisinya. Siapa yang menebar kasih sayang di muka bumi, bukankah ia akan diberkahi oleh Langit? Nilai-nilai baik dan mulia dari orang-orang religius bisa Joe lihat dari kehidupan mertuanya sendiri yang dikenal sebgai guru mengaji.

     Benar saja. Tak salah. Lelaki yang kemudian menampakkan dirinya menemui Joe dan Boman di ruangan itu tak sedikitpun berbeda dari sosok yang Joe lihat di foto. Lelaki itu muncul mengenakan kopiah putih dan pakaian putih-putih khas seorang muslim. Tak ada yang cela dari sekilas penampilan laki-laki itu.

     Tapi Joe segera kecewa. Lelaki itu belum apa-apa sudah menampakkan wajah sinis tak bersahabat. Bahkan saat Joe mengulurkan tangan hendak menyalaminya, laki-laki itu malah menepisnya dengan kasar. Laki-laki itu memandang dengan sorot mata tajam. Wajahnya merah padam, membara, seperti dibakar api. Angkuh. Arogan. Caranya melihat Joe dan Boman tak ubah seperti ia melihat kotoran. Pandangannya kemudian paling banyak mencecar Boman.

     Joe jadi iba melihat Boman yang hanya duduk melengkung tak berani mengangkat pandangan.

     “Jadi kamu mau apa sekarang?” Laki-laki itu menghardik dan menuding Boman.

     Si bajak laut mata satu hanya berani melirik Joe dengan ekor matanya. Wajahnya pucat. Tubuhnya seketika beku sedingin es.

     “Ayo ngomong! Apa mau kamu sekarang?” hardikan laki-laki itu terdengar lebih keras.

     Joe menginjak jempol kaki si bajak laut agar temannya itu bicara.

     Boman bicara juga. Tapi suaranya kecil sekali seperti suara bayi kucing. “Begini Pak Haji, saya datang ke sini mau menyelesaikan masalah ini,” suaranya terbata-bata.

     “Kenapa kamu bawa orang? Ini urusan kamu sama saya. Kenapa kamu bawa dia?” telunjuk laki-laki yang dipanggil “Pak Haji” itu menuding ke arah Joe. “Hei, kamu siapa?”

     “Maaf Pak Haji, saya ikut ke sini hanya untuk mengawal dia,” jawab Joe gugup.

     “Oh begitu maksudnya?” Tiba-tiba laki-laki itu berdiri. Ia mencak-mencak ke pintu dan mengunci pintu itu dari dalam. Kunci pintu ia cabut dan pegang. “Kalau itu mau kalian akan saya layani. Kamu, kamu, ayo kita berkelahi sekarang! Jangan pikir saya sudah tua tidak berani koboi-koboian ya!”

     Joe hanya istighfar di hati melihat tingkah laku laki-laki itu. Hanya karena uang kau rendahkan kemuliaanmu dalam persaksian Allah. Bagaimana kau akan rela menjihadkan seluruh harta bendamu untuk agamamu.

     “Ayo, kenapa diam. Ayo lawan saya!” laki-laki itu menggulung lengan bajunya dan semakin mencak-mencak tak karuan.

     “Kami nggak berani, Pak Haji,” terdengar suara menyedihkan dari bibir Boman.

     “Dasar setan kamu, Man!” laki-laki itu menyepak meja dan sengaja mengarahkannya agar mengenai kaki Boman.

     Boman diam.

     Joe tak henti-hentinya istighfar dalam hati.

     Akhirnya laki-laki itu duduk lagi. Tapi wajahnya tetap murka. “Kamu mau coba-coba menipu saya ya, Man? Motor rusak kamu bilang bagus. Setan kamu!”

     “Saya mengaku salah. Saya minta maaf, Pak Haji.”

     “Enak betul bilang maaf. Dasar setan! Jadi sekarang kamu mau apa?”

     “Saya mau mengembalikan semua uang Pak Haji yang kemarin. Saya juga telah ditipu, Pak Haji. Saya nggak tahu motor itu rusak,” ujar Boman yang masih duduk membungkuk.

     “Saya nggak mau tahu!  Kamu juga tahu kan saya ini pedagang? Ingat, saya ini pedagang, bukan pebisnis. Satu hari saja uang saya tidak berputar, berapa kerugian saya? Mengerti kamu!”

     “Saya mengerti, Pak Haji.”

     “Jangan hanya bicara. Pikirkan kerugian saya!”

     “Jika Pak Haji sudah merasa rugi, saya bersedia mengganti kerugian Pak Haji.”

     “Harus!”

     Joe memandang Boman. Ia semakin iba melihat nasib temannya yang ditekan. Sementara, ketika memandang wajah si tuan rumah, ia merasa muak melihat keangkuhan musang berbulu domba itu.

     “Berapa kira-kira sya harus mengganti rugi, Pak Haji?” Boman bertanya dengan suara terpatah-patah.

     “Saya yang menentukan, bukan kamu! Sekarang bawa sini uang saya kemarin. Sembilan juta. Tambah lagi ganti ruginya satu juta. Motornya ada di belakang, tinggal kamu bawa begitu urusan ini selesai.”

     Terperanjat, Boman hanya memandang wajah Joe. Ia seperti ingin mengatakan uang yang dibawanya tak mencukupi sebagaimana yang ditentukan Pak Haji. Tapi kemudian Boman tetap nekat mengeluarkan semua uang yang ia bawa. Di depan Pak Haji ia menghitungnya dengan teliti. Setelah selesai menghitung barulah ia berkata, “Ini jumlah semuanya sembilan juta enam ratus ribu, Pak Haji. Kekurangannya masih empat ratus ribu. Saya janji kekurangannya besok saya antar.”

     “Tidak bisa!” laki-laki itu menggebrak meja. “Harus malam ini. Kalau kekurangannya masih besok, motor rusak itu saya ambil.”

     Boman memandang lagi ke Joe. Ia seperti berharap sesuatu. Joe mengerti maksud temannya itu. Lalu Joe berinisiatif sendiri.

     “Begini Pak Haji, kekurangannya tetap kami tutup malam ini. Tapi saya minta ke ATM dulu ambil uangnya,” begitulah kata Joe.

     “Silahkan. Saya tunggu!”

     Akhirnya Joe berangkat sendiri ke ATM. Sementara Joe pergi, laki-laki itu bergegas ke belakang dan mengeluarkan motor yang menjadi biang sengketa. Sepuluh menit kemudian Joe sudah muncul kembali membawa uang yang langsung diserahkannya. Urusannya selesai. Tak mau menunggu lama-lama akhirnya Joe dan Boman buru-buru meninggalkan rumah laki-laki itu. Joe mengendarai motornya sendiri, sementara Boman menaiki motor “sengketa” yang tiba-tiba suara mesinnya berubah jadi hancur seperti suara mesin jahit itu.

     Begitulah. Peristiwa itu menjadi pelajaran bagi Joe, bahwa penampilan dan identitas belum pasti mencerminkan sikap dan hati seseorang. Itu mengingatkannya kembali pada sebuah nasehat yang pernah ia baca  bahwa masih banyak manusia yang hidupnya tampil dalam dua sisi: di satu sisi mereka berkhayal Tuhan telah membimbing mereka tapi di sisi lain mereka memainkan ironi mempertuhankan uang. Joe juga jadi ingat dengan nasehat ini: suatu masa akan tiba keimanan hanya tinggal pakaian dan pemikiran yang tak berbekas dalam perbuatan!

    

    


Tidak ada komentar:

Posting Komentar