Minggu pagi. Batang alang
berjuntaian berliput sisa embun. Daun-daun segar masih bermunculan di
dahan-dahan yang nyaris gundul. Tiupan angin April belum juga mengirim mendung
yang menurunkan hujan. Namun aneka bunga warna tetap tumbuh sepanjang jalan.
Bunga sepatu bermekaran. Burung-burung bersolek sahut-menyahut berkicauan.
Mobil
sport merah berharga ratusan juta tiba-tiba berhenti tepat di depan sederet
rumah bedeng kontrakan dan pengemudinya yang cantik tampak bingung sesaat
setelah ia turun. Wanita itu tak bisa memastikan pintu mana yang harus diketuk
di antara belasan bedeng mungil yang masing-masing hanya dipisahkan sekat-sekat
dinding itu. Lama ia tertegun sampai akhirnya baru terpikir untuk menelpon.
Tak
lama, salah satu pintu kontrakan terbuka. Penghuninya termehek-mehek kalang
kabut karena masih kedodoran mengenakan sarung. Ia hanya menyambar baju
sekenanya dan terburu-buru memakainya. Saat tamu secantik bidadari itu sudah
berdiri di pelupuknya, laki-laki itu kikuk memberi sambutan.
“Jean, pulang olahraga pagi ya?” sapanya
dengan ekspresi wajah tak siap.
“Apa aku memakai pakaian olahraga?”
“Ooh,” laki-laki yang tak lain adalah
Ellen itu, tersipu malu.
“Setengah sepuluh,” Jean mengarahkan jam
tangannya ke wajah Ellen. “Ini terlalu siang jika aku masih tidur,” sindirnya.
“Ooh. Silahkan masuk Jean,” Ellen penuh
kesopanan memberi jalan pada tamunya. “Duduk ya, pilih di mana yang enak.
Kursi-kursinya jelek. Semuanya sudah minta diganti. Aku pikir tidak serius kamu
mau mencari rumahku.”
“Kenapa? Keberatan ya aku datang?”
“Bukan. Ini aneh. Seumur-umur kontrakanku
yang jelek ini belum pernah dikunjungi cewek cantik.”
“Gombal!”
“Apa kamu menyesal setelah tahu aku
tinggal di tempat sepeti ini? Sepertinya begitu.”
“Aku tidak berpikir seperti apa katamu.
Tempat tinggalmu lumayan. Minimalis. Cocok untuk laki-laki yang masih sendiri
seperti kamu. Aku hanya bingung kenapa bajumu terbalik?”
“Ooh,” Ellen memperhatikan bajunya. Sadar
ada yang salah, ia terbirit-birit masuk kembali ke kamar menukar baju.
Tersungging senyum di wajah Jean melihat kelakuan itu. Saat muncul lagi Ellen
kelihatan lebih rapi.
Jean mengeluarkan sesuatu dari tasnya.
“Ini aku bawa koran terbitan hari ini. Ada cerpenmu dimuat,” kata wanita itu sambil
duduk dan meletakkan korannya di meja.
Ellen melihat sampul koran itu. Ia
terperangah.
Ternyata itulah koran yang pernah
diistilahkan Ellen sebagai mbahnya
koran.
“Cerpenku dimuat di sini?” Mata Ellen
berbinar-binar. Wajahnya sumringah. Ada girang tak terkira. Andai Jean tidak di
depannya mungkin Ellen sudah melompat-lompat. Ini pertama kali mbahnya koran memuat cerpen Ellen
setelah berpuluh-puluh naskah pilihan ia kirim.
“Kelihatannya suprise banget cerpenmu dimuat di koran ini?” kata Jean.
“Ya. Aku sudah empat hari tidak buka Email, jadi tidak tahu tentang pemuatan
ini. Aku sudah lama berharap koran ini memuat cerpenku.”
Ellen meraih koran di depannya. Dibukanya
halaman demi halaman koran itu untuk memastikan karya cerpennya yang berjudul
apa yang dimuat.
“Sejadah di Gereja!” tak lama terdengar
Ellen berseru reflek.
“Ya, sudah aku baca cerpen itu. Ceritanya
menarik,” komentar Jean. “Tapi aku agak khawatir.”
“Khawatir apa?”
“Cerpenmu itu berbau agama. Kamu tidak
bermaksud mencela agama orang lain, kan?”
Ellen menatap Jean. “Aku tidak senaif itu,
Jean. Sbstansi ceritanya jelas. Aku hanya menyentil orang-orang yang beragama
secara sempit dan mengapresiasi orang-orang yang bisa berdamai di tengah
perbedaan. Jika cerpen ini kontoversial atau tendensius mana mungkin dimuat di
koran ini. Tidak ada koran berani menempuh resiko. Apalagi di negeri kita ini
banyak sekali oknum penabuh gendang yang tidak suka melihat
Indonesia damai. Mereka suka mencari-cari masalah untuk mengadu domba antara
satu yang berbeda dengan satu lainnya yang berbeda.”
“Bagaimana jika cerpenmu itu dieksploitasi juga oleh para provokator
yang kamu sebut penabuh gendang itu?”
“Ah, terlalu picik jika mereka mengeksploitasi cerpen. Jika sekedar
berpolemik, mungkin. Biar saja itu terjadi.”
Jam bergerak ke pukul sepuluh pagi.
Sebenarnya bukan Jean dan Ellen saja yang segera tahu mengenai pemuatan cerpen
itu. Di rumahnya, pagi itu Alin masih tidur saat ibunya tiba-tiba bersemangat
menggedor pintu kamar.
“Al, bangun! Lihat koran hari ini, ada
kejutan. Bukankah Ellen ini temanmu yang dulu pernah menulis cerpen tentangmu?
Lihat, sekarang cerpennya dimuat di koran langganan ibu.”
Alin terloncat di tempat tidurnya. Jika
sekedar cerpen karya Wong edan ora katoan
dimuat koran, itu sering ia tahu. Tapi Alin ingat koran langganan ibunya
termasuk koran papan atas. Alin merasa percaya tidak percaya mendengar itu.
Rasa malas dan sisa kantuknya langsung sirna. Pertama yang dipikir Alin, Wong edan ora katoan pasti akan mendapat
honor yang besar.
Alin membuka pintu kamar dan mendapati
ibunya masih berdiri menunggu.
“Cerita apa sih yang ditulisnya, Bu?
Jangan-jangan tentang teman-temannya lagi?”
“Lihat sendiri. Korannya di meja depan,”
kata perempuan itu sambil mengiring langkah anaknya.
Setelah mencuci muka dan membuat sendiri
secangkir kopi untuknya, tampak Alin sudah duduk di ruang depan sambil memegang
koran. Ia dapati halaman yang dicarinya. Judul cerpen yang dilengkapi ilustrasi
gambar segera tampak di pelupuk matanya: Sejadah
di Gereja! Nama sang penulis tertera di bawah judul: Ellen Marita!
“Ibu lihat dari gayanya menulis, temanmu
itu memang berbakat.”
Alin tak menyahut kata-kata ibunya. Ia
mulai hanyut membaca:
Sejadah di Gereja
Mat hanya teman main dan mengaji semasa
kecil. Sejak aku melanjutkan sekolah dan kuliah di kota, kedekatanku dengan Mat
berkurang dari tahun ke tahun. Setelah aku bekerja, menikah, dan menetap di
Jakarta, kontak kami sebagai teman kecil di kampung benar-benar seperti putus.
Aku hanya mendengar kabar selintas-selinas saja tentang Mat, yang ditutur oleh
kedua orang tuaku, baik ketika aku mudik setahun sekali atau ketika keduanya
mengunjungiku di Jakarta. Tak beda dari tutur Ayah dan Ibu, kerbat-kerabat di
kampung juga sering memperbincang tentang Mat kepadaku setiap aku menjenguk
kampung.
Tiga tahun
Mat pernah menghilang dari kampung, cerita mereka, untuk memperdalam ilmu
agamanya. Tapi sempat ada yang mengatakan, Mat bukan memperdalam ilmu agama
ketika ia menghilang, melainkan menggembleng diri bersama kelompok
teroris. Setelah tiga tahun, Mat muncul lagi di kampung. Ujaran bahwa ia
terkait teroris sama sekali tak terbukti. Ia pulang justru membawa ilmu agama
yang banyak dan semakin dikenal sebagai pria yang saleh.
Di
kampungku, sudah sejak puluhan tahun warga yang mayoritas muslim hidup
berdampingan secara damai dengan warga yang mayoritas pemeluk agama Kristen
Protestan. Di tengah-tengah kampung telah berdiri sejak lama sebuah gereja
sederhana nan asri tempat warga Kristen Protestan beribadah setiap Minggu.
Pendeta Sinara, imam gereja, boleh dibilang termasuk salah-satu sesepuh
kampung– yang mendiami gereja itu seorang diri. Entah kenapa suatu ketika, Ayah
cerita juga, bahwa kedamaian antar warga pemeluk dua agama berbeda di
kampung ini sempat terusik. Haji Sobron yang terkenal paling kaya di
kampung pernah membawa puluhan orang hendak menyerang Pendeta Sinara. Ternyata
pemicunya masalah bisnis, bukan masalah keyakinan. Haji Sobron tidak terima
karena jemaat-jemaat gereja dari hari ke hari semakin sedikit saja yang
meminjam uang atau mengambil kredit-kredit barang darinya. Ia merasa Pendeta
Sinara yang telah menghasut mereka. Di kampungku Haji Sobron memang terkenal
sebagai pembiak uang. Renternir. Berapa saja warga butuh uang, ia
meminjamkannya dengan cepat dan mudah, namun sayangnya dengan perjanjian bunga
sangat mencekik. Ia juga menyediakan kredit berbagai kebutuhan barang, namun sayangnya
pembayaran harus dicicil dengan angsuran tinggi. Itulah sebab, kadang-kadang
dalam hati aku mencemooh kelakuan Haji Sobron yang kikir dan lintah darat. Tak
sedikit hidup warga kemudian menjadi galau setelah berurusan dengannya. Menurut
penilaianku Haji Sobron hanya manusia rakus dan serakah yang menyamar dengan
sorban. Lelaki tua berkumis tebal itu tak akan segan-segan menyita barang apa
saja jika warga terlambat membayar hutangnya.
Saat
Pendeta Sinara terancam, ternyata satu-satu warga yang gagah berani mencegah
Haji Sobron adalah Mat. Kata Ayah, suasana kampung benar-benar memanas ketika
itu. Beberapa warga yang ikut Haji Sobron malah telah berancang-ancang membakar
gereja.
“Pulang
semua. Pulang! Ini sekarang urusan saya, Pendeta, dan Pak Haji!” dengan lantang
Mat mengusir warga yang menyemut di gereja sambil pasang badan di pintu rumah
ibadah itu.
Haji Sobron
sendiri entah kenapa ikut gentar mendengar suara Mat. Ia sendiri yang kemudian
membubarkan warga pengikutnya. Lalu masalah itu tak dilanjutkannya.
Begitulah
kemudian hingga dua tahun sesudahnya waktu berlalu. Kampung tetap damai seperti
sediakala. Lalu aku dengar lagi kabar selanjutnya tentang Mat. Teman kecilku
itu diceritakan sempat menghilang lagi dari kampung selama dua tahun. Setelah
muncul lagi, perangai ibadahnya berubah aneh. Mat mulai jarang sholat jemaah di
masjid. Lebih suka ia datangi masjid di tengah malam. Warga menduga Mat sedang
khusuk mengamalkan sejenis ilmu, atau ngelmu. Perihal ngelmu
itu berlangsung cukup lama, sampai-sampai Ayah dan Ibuku sendiri turut
cemas dan prihatin melihat Mat yang mulai berubah dari caranya bertutur kata
dan lama-kelamaan menjadi pelamun yang suka bicara sendiri. Puncaknya saat Mat
menggegerkan kampung tatkala mengumumkan kepada puluhan warga ia mendapat
bisikan gaib untuk memaklumatkan bahwa agama-agama yang dianut sekarang sudah
tak berlaku lagi di muka bumi, maka itu ia diperintahkan oleh langit untuk
memusnahkannya. Mat bilang, ia harus memulai pemusnahan dengan permulaan
membunuh Haji Sobron dan Pendeta Sinara.
“Hilangnya
digdaya agama membimbing umat karena masa berlakunya memang sudah habis
dipakai. Agama yang sudah tak berlaku, tak beda obat yang kadaluarsa, bukannya
ia menjadi penyembuh dan penyeimbang jiwa melainkan menjadi racun yang
menghancurkan. Berpuluh tahun kalian menjadi jemaah masjid, berpuluh tahun pula
warga yang lain menjadi jemaat gereja, apakah itu semua membuat cara hidup dan
moral kalian menjadi baik? Dengki, hasut, takut kekurangan, takut lapar, bahkan
tindas-menindas, korupsi, kerusakan moral, tak lagi bisa dihentikan oleh
digdaya agama di manapun di muka bumi ini, semua menandakan bahwa Tuhan tak
lagi hadir dalam agama manapun dan menandakan bahwa kita tak sungguh-sungguh
menyembah Tuhan yang kita sembah. Apa boleh buat, Haji Sobron dan Pendeta
Sinara adalah pemimpin-pemimpin palsu yang pertama-tama harus saya lenyapkan!”
Warga
kampung seluruhnya dibuat mencekam mendengar pernyataan Mat. Pernyataan itu
kemudian ia sampaikan tak hanya di pos kamling, di pangkalan ojek, atau di
pasar tempel kampung, namun intens dari pintu ke pintu rumah warga. Tetapi
begitulah kelanjutannya, karena warga langsung bersiaga, Mat tak pernah
sungguh-sungguh melaksanakan apa yang ingin ia lakukan terhadap Haji Sobron dan
Pendeta Sinara. Pernyataan Mat hanya angin lalu dan dianggap pernyataan orang
gila oleh seluruh warga. Untuk menghindari Mat macam-macam terhadap dua orang
tokoh agama kampung kami itu, warga sepakat tetap waspada dan mengawasi
gerak-gerik Mat.
Aku sedang menanti kelahiran anak keduaku
ketika Ayah menelpon malam itu dan menceritakan perkembangan Mat selanjutnya.
Malam itu Ayah bilang Mat sudah tak tertolong lagi. Teman kecilku itu sudah
hilang kewarasannya. Gila! Dituturkan oleh Ayah, karena kegilaannya di kampung
Mat sering menyelonong masuk ke masjid saat warga sedang sholat berjemaah dan
orang-orang yang sholat dijadikan gurauannya. Kadang-kadang ia memorotkan
kain sarung jemaah yang sedang berdiri khusuk. Kadang-kadang ia menepuk pantat
jemaah yang sedang rukuk. Sekali waktu Haji Sobron yang sedang sujud saat
menjadi imam dinaikinya jadi kuda-kudaan.
Ihwal tidak
warasnya Mat jadi gangguan juga di gereja. Saat Pendeta Sinara memimpin
jemaatnya sembahyang di gereja, Mat banyak muncul mengganggu. Kadang-kadang ia
menjewer telinga beberapa jemaat. Kadang-kadang ia berdiri di depan seluruh
jemaat dan memainkan tubuhnya yang mengundang kelucuan. Sekali waktu
ketika Pendeta Sinara sedang menyampaikan siraman rohani si Mat menarik kedua
pipi Pendeta itu.
Haji Sobron
paling marah. Lama-kelamaan kelakuan Mat tak bisa ditolelirnya. Ia protes keras
dan mengusulkan agar kerabat Mat memasung lelaki itu. Usul itu didukung oleh
semua warga. Aku dikabarkan juga oleh Ayah lewat telpon tentang Mat yang
akhirnya diseret-seret oleh warga kampung untuk dipasung di belakang rumah
keluarganya.
Sekian
bulan menjalani pemasungan, Mat menderita. Kadang ia berteriak-teriak tengah
malam. Kadang menangis. Kadang berhari-hari ia menolak diberi makan oleh
keluarganya. Tubuhnya menyusut. Kurus. Tubuhnya tak terurus. Bau.
Pendeta
Sinara satu-satunya orang yang sangat prihatin melihat penderitaan Mat. Suatu
ketika lelaki berusia lanjut itu bersilaturahmi ke masjid menemui Haji
Sobron. Ayahku ikut mendengar pembicaraan keduanya yang menyoal ihwal
Mat. Pendeta Sinara mengusul, demi kemanusiaan ada baiknya Mat dibawa ke Rumah
Sakit Jiwa saja. Argumen sang Pendeta, Mat masih ada harapan untuk sembuh jika
diobati secara baik. Warga tak perlu risau soal biaya, kata Pendeta, ia yang
akan meekomendasikannya lewat sebuah yayasan gereja.
Haji Sobron
belingsatan. “Saya curiga, jangan-jangan kebaikan Pak Pendeta ini ada udang di
balik batunya! Sampeyan ingin jadi pahlawan jangan-jangan dengan
maksud mencari pengikut?”
Pendeta
Sinara buru-buru menepis. “Tidak, ini murni kemanusiaan. Saya hanya prihatin
melihat Mat dipasung begitu rupa. Lagipula saya merasa ada hutang budi
kepadanya.”
“Ah, saya
tidak setuju. Teling kucing! Biar saja Mat seperti itu. Kita tahu anak
itu bukan saja gila, tapi sudah kerasukan iblis. Apa Sampeyan tidak
takut kalau nanti dia sembuh lalu kumat lagi mau bunuh kita berdua. Sudah
terang-terangan anak itu penganut aliran sesat, mau dibela. Jangan obati macan
yang sakit, nanti menerkam muka Sampeyan sendiri.”
“Saya yakin
Pak Haji. Saya yakin Mat masih bisa kita tolong. Setelah sembuh, kita bisa
luruskan kembali pandangan beragamanya,” sela Pendeta. “Kita semua tidak baik
berdiam diri melihat salah satu anggota keluarga kampung kita tersiksa seperti
Mat.”
Haji Sobron
terdiam. Setelah cukup lama berpikir-pikir diajukannya satu pertanyaan, “Jika
ini kita lakukan, apakah Sampeyan yakin aku tidak akan terbawa-bawa
menanggung biaya pengobatannya?”
“Biarlah
itu jadi urusan saya,” jawab Pendeta.
“Ya sudah,
bicarakan ini dengan keluarganya,” pungkas Haji Sobron.
Yang aku
dengar kemudian Mat sudah dirawat di sebuah Rumah Sakit Jiwa di kota. Tak
sampai satu tahun berselang, Ayah kembali bercerita bahwa Mat berhasil
disembuhkan dan telah kembali ke kampung. Namun kepulangannya itu menimbulkan
perkara lain. Sepulangnya, Mat memilih tinggal di gereja bersama Pendeta
Sinara. Hal itu sangat menimbulkan keresahan warga kampung. Muncullah tuduhan
bermacam-macam yang menyasar ke Pendeta Sinara. Di gereja itu, Mat sendiri
memilih tertutup dan enggan tampil ke muka umum.
“Jangan-jangan
Mat sudah Sampeyan hasut pindah agama?!” Haji Sobron paling lantang
bersuara.
“Tidak!”
Pendeta Sinara selalu tegas memberi jawaban.
“Kalau
begitu suruh Mat keluar untuk memberi penjelasan kepada kami!” tuntut beberapa
warga.
“Saya sudah
berulang-ulang membujuknya, tapi Mat belum mau. Hanya Ayah dan Ibunya yang mau
dia temui. Kalian boleh bertanya kepada beliau-beliau apakah Mat pindah agama
atau tidak untuk menghindari fitnah di antara kita.”
Pendeta Sinara
tidak bohong. Meski memilih tinggal di gereja bersama Pendeta Sinara, Mat tetap
memeluk Islam sebagai agamanya. Di kamar yang ditempatinya di gereja, ia tetap
rajin sholat sebagaimana menjadi kewajiban baginya. Aku sendiri yang melihat
dan membuktikan itu ketika sebulan lalu berkesempatan pulang menengok kampung.
Desas-desus warga membuatku penasaran sore itu, jadi aku putuskan menjenguk
Mat. Saat muncul di gereja, Pendeta Sinara pun masih mengenal baik siapa aku,
“Kamu
Muslimin ya, anak Pak Paijo. Wah, sudah gagah kamu sekarang. Enak ya tinggal di
Jakarta sampai jarang-jarang kamu muncul di kampung.”
“Saya mau
bertemu Mat, Pak Pendeta. Boleh?”
“Tentu saja
boleh. Mat itukan teman kecilmu. Daya masih ingat bola mainan kalian pernah
nyasar memecahkan jendela gereja ini. Dulu kalian berdua sama nakalnya. Tapi
tunggu dulu, saya harus beritahu Mat dulu bahwa kamu mau bertemu. Saya sendiri
bingung, sekarang hanya orang-orang tertentu saja yang mau ditemuinya.”
Untunglah
Mat masih mengingatku. Ia bersedia aku temui. Pendeta Sinara yang mengantarku
ke kamarnya. Melihat keadaan kamarnya, tentu saja apa yang dipikirkan warga
kampung salah semua. Kamar sederhana di sudut belakang gereja itu dipenuhi
banyak sekali buku-buku islami koleksi Mat. Ada Al Qur’an juga. Ada sajadah.
Mat sendiri sedang menulis saat aku masuk menemuinya.
“Beginilah
kesibukanku sekarang, Mus,” katanya. “Di samping aku bantu-bantu Pak Pendeta di
gerejanya ini, waktuku sekarang lebih banyak habis untuk menulis. Aku sedang
konsentrasi menyelesaikan sebuah buku. Pendeta Sinara berjanji membantuku untuk
menerbitkannya nanti.”
“Buku
tentang apa, Mat?”
“Tentang
hidup damai antar pemeluk agama berbeda.”
“Apakah kau
yakin dengan apa yang kau tulis?”
“Rasullullah
saja sudah membuktikan itu dalam hidupnya. Rasullullah tidak pernah memerangi
agama-agama, yang Beliau perangi adalah para penentang, penyeleweng, dan para
penindas dalam agama-agama.”
“Mat,
apakah kau tidak takut gereja ini mengalihkan keyakinanmu?”
Mat
tersenyum. “Ketahuilah Mus, iman dinamai iman karena ia hadir bukan berdasar
transaksi sosial. Bertahun-tahun kau serumah tidur dengan istrimu, apakah itu
lantas merubahmu menjadi perempuan? Iman itu hadir di relung jiwa. Tak ada
fatwa atau batas tafsir yang semena-mena mempertentangkannya jika ia
benar-benar telah hadir sebagai cahaya spiritual. Jika materi, godaaan sosial,
penderitaan, masih acap mengalahkan imanmu, sebenarnya boleh disimpulkan kau
belum beriman. Kau masih ragu dan takut Tuhan tidak mencukupimu. Kau menunda sholatmu
dan mementingkan urusan kerja karena takut dipecat, dengan demikian kau telah
mentiadakan Tuhan demi pertarungan duniawimu. Jadi jangan risaukan keberadaanku
di dalam gereja ini. Aku bersikukuh tinggal di sini bukan hendak menjual
keyakinanku, tapi karena aku lihat Pendeta Sinara memang orang yang tulus
membantuku. Di usia senjanya, aku ingin berdampingan dengan Beliau tak ubahnya
dia orang tuaku sendiri.”
Aku dan Mat
berbincang hingga terdengar bedug Maghrib. Begitu bedug berbunyi, Mat sudah
menarik tanganku mengajak berwudhu. Lalu di kamarnya ia membentangkan sejadah.
Itulah pertama kalinya aku sholat jemaah bersama Mat, di dalam gereja. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar