ostradata.com

ostradata.com

Selasa, 24 September 2013

MAN & MOON (Sepuluh)



Minggu pagi. Batang alang berjuntaian berliput sisa embun. Daun-daun segar masih bermunculan di dahan-dahan yang nyaris gundul. Tiupan angin April belum juga mengirim mendung yang menurunkan hujan. Namun aneka bunga warna tetap tumbuh sepanjang jalan. Bunga sepatu bermekaran. Burung-burung bersolek sahut-menyahut berkicauan.


Mobil sport merah berharga ratusan juta tiba-tiba berhenti tepat di depan sederet rumah bedeng kontrakan dan pengemudinya yang cantik tampak bingung sesaat setelah ia turun. Wanita itu tak bisa memastikan pintu mana yang harus diketuk di antara belasan bedeng mungil yang masing-masing hanya dipisahkan sekat-sekat dinding itu. Lama ia tertegun sampai akhirnya baru terpikir untuk menelpon.


Tak lama, salah satu pintu kontrakan terbuka. Penghuninya termehek-mehek kalang kabut karena masih kedodoran mengenakan sarung. Ia hanya menyambar baju sekenanya dan terburu-buru memakainya. Saat tamu secantik bidadari itu sudah berdiri di pelupuknya, laki-laki itu kikuk memberi sambutan.

     “Jean, pulang olahraga pagi ya?” sapanya dengan ekspresi wajah tak siap.

     “Apa aku  memakai pakaian olahraga?”

     “Ooh,” laki-laki yang tak lain adalah Ellen itu, tersipu malu.

     “Setengah sepuluh,” Jean mengarahkan jam tangannya ke wajah Ellen. “Ini terlalu siang jika aku masih tidur,” sindirnya.

     “Ooh. Silahkan masuk Jean,” Ellen penuh kesopanan memberi jalan pada tamunya. “Duduk ya, pilih di mana yang enak. Kursi-kursinya jelek. Semuanya sudah minta diganti. Aku pikir tidak serius kamu mau mencari rumahku.”

     “Kenapa? Keberatan ya aku datang?”

     “Bukan. Ini aneh. Seumur-umur kontrakanku yang jelek ini belum pernah dikunjungi cewek cantik.”

     “Gombal!”

     “Apa kamu menyesal setelah tahu aku tinggal di tempat sepeti ini? Sepertinya begitu.”

     “Aku tidak berpikir seperti apa katamu. Tempat tinggalmu lumayan. Minimalis. Cocok untuk laki-laki yang masih sendiri seperti kamu. Aku hanya bingung kenapa bajumu terbalik?”

     “Ooh,” Ellen memperhatikan bajunya. Sadar ada yang salah, ia terbirit-birit masuk kembali ke kamar menukar baju. Tersungging senyum di wajah Jean melihat kelakuan itu. Saat muncul lagi Ellen kelihatan lebih rapi.

     Jean mengeluarkan sesuatu dari tasnya. “Ini aku bawa koran terbitan hari ini. Ada cerpenmu dimuat,” kata wanita itu sambil duduk dan meletakkan korannya di meja.

     Ellen melihat sampul koran itu. Ia terperangah.

     Ternyata itulah koran yang pernah diistilahkan Ellen sebagai mbahnya koran.

     “Cerpenku dimuat di sini?” Mata Ellen berbinar-binar. Wajahnya sumringah. Ada girang tak terkira. Andai Jean tidak di depannya mungkin Ellen sudah melompat-lompat. Ini pertama kali mbahnya koran memuat cerpen Ellen setelah berpuluh-puluh naskah pilihan ia kirim.

     “Kelihatannya suprise banget cerpenmu dimuat di koran ini?” kata Jean.

     “Ya. Aku sudah empat hari tidak buka Email, jadi tidak tahu tentang pemuatan ini. Aku sudah lama berharap koran ini memuat cerpenku.”

     Ellen meraih koran di depannya. Dibukanya halaman demi halaman koran itu untuk memastikan karya cerpennya yang berjudul apa yang dimuat.

     “Sejadah di Gereja!” tak lama terdengar Ellen berseru reflek.

     “Ya, sudah aku baca cerpen itu. Ceritanya menarik,” komentar Jean. “Tapi aku agak khawatir.”

     “Khawatir apa?”

     “Cerpenmu itu berbau agama. Kamu tidak bermaksud mencela agama orang lain, kan?”

     Ellen menatap Jean. “Aku tidak senaif itu, Jean. Sbstansi ceritanya jelas. Aku hanya menyentil orang-orang yang beragama secara sempit dan mengapresiasi orang-orang yang bisa berdamai di tengah perbedaan. Jika cerpen ini kontoversial atau tendensius mana mungkin dimuat di koran ini. Tidak ada koran berani menempuh resiko. Apalagi di negeri kita ini banyak sekali oknum penabuh gendang yang tidak suka melihat Indonesia damai. Mereka suka mencari-cari masalah untuk mengadu domba antara satu yang berbeda dengan satu lainnya yang berbeda.”

     “Bagaimana jika cerpenmu itu dieksploitasi juga oleh para provokator yang kamu sebut penabuh gendang itu?”

     “Ah, terlalu picik jika mereka mengeksploitasi cerpen. Jika sekedar berpolemik, mungkin. Biar saja itu terjadi.”

     Jam bergerak ke pukul sepuluh pagi. Sebenarnya bukan Jean dan Ellen saja yang segera tahu mengenai pemuatan cerpen itu. Di rumahnya, pagi itu Alin masih tidur saat ibunya tiba-tiba bersemangat menggedor pintu kamar.

     “Al, bangun! Lihat koran hari ini, ada kejutan. Bukankah Ellen ini temanmu yang dulu pernah menulis cerpen tentangmu? Lihat, sekarang cerpennya dimuat di koran langganan ibu.”

     Alin terloncat di tempat tidurnya. Jika sekedar cerpen karya Wong edan ora katoan dimuat koran, itu sering ia tahu. Tapi Alin ingat koran langganan ibunya termasuk koran papan atas. Alin merasa percaya tidak percaya mendengar itu. Rasa malas dan sisa kantuknya langsung sirna. Pertama yang dipikir Alin, Wong edan ora katoan pasti akan mendapat honor yang besar.

     Alin membuka pintu kamar dan mendapati ibunya masih berdiri menunggu.

     “Cerita apa sih yang ditulisnya, Bu? Jangan-jangan tentang teman-temannya lagi?”

     “Lihat sendiri. Korannya di meja depan,” kata perempuan itu sambil mengiring langkah anaknya.

     Setelah mencuci muka dan membuat sendiri secangkir kopi untuknya, tampak Alin sudah duduk di ruang depan sambil memegang koran. Ia dapati halaman yang dicarinya. Judul cerpen yang dilengkapi ilustrasi gambar segera tampak di pelupuk matanya: Sejadah di Gereja! Nama sang penulis tertera di bawah judul: Ellen Marita!

     “Ibu lihat dari gayanya menulis, temanmu itu memang berbakat.”

     Alin tak menyahut kata-kata ibunya. Ia mulai hanyut membaca:


Sejadah di Gereja

Mat hanya teman main dan mengaji semasa kecil. Sejak aku melanjutkan sekolah dan kuliah di kota, kedekatanku dengan Mat berkurang dari tahun ke tahun. Setelah aku bekerja, menikah, dan menetap di Jakarta, kontak kami sebagai teman kecil di kampung benar-benar seperti putus. Aku hanya mendengar kabar selintas-selinas saja tentang Mat, yang ditutur oleh kedua orang tuaku, baik ketika aku mudik setahun sekali atau ketika keduanya mengunjungiku di Jakarta. Tak beda dari tutur Ayah dan Ibu, kerbat-kerabat di kampung juga sering memperbincang tentang Mat kepadaku setiap aku menjenguk kampung.

Tiga tahun Mat pernah menghilang dari kampung, cerita mereka, untuk memperdalam ilmu agamanya. Tapi sempat ada yang mengatakan, Mat bukan memperdalam ilmu agama ketika ia menghilang, melainkan menggembleng diri bersama kelompok teroris.  Setelah tiga tahun, Mat muncul lagi di kampung. Ujaran bahwa ia terkait teroris sama sekali tak terbukti. Ia pulang justru membawa ilmu agama yang banyak dan semakin dikenal sebagai pria yang saleh.

Di kampungku, sudah sejak puluhan tahun warga yang mayoritas muslim hidup berdampingan secara damai dengan warga yang mayoritas pemeluk agama Kristen Protestan. Di tengah-tengah kampung telah berdiri sejak lama sebuah gereja sederhana nan asri tempat warga Kristen Protestan beribadah setiap Minggu. Pendeta Sinara, imam gereja, boleh dibilang termasuk salah-satu sesepuh kampung– yang mendiami gereja itu seorang diri. Entah kenapa suatu ketika, Ayah cerita juga, bahwa kedamaian antar warga pemeluk dua agama berbeda di kampung  ini sempat terusik. Haji Sobron yang terkenal paling kaya di kampung pernah membawa puluhan orang hendak menyerang Pendeta Sinara. Ternyata pemicunya masalah bisnis, bukan masalah keyakinan. Haji Sobron tidak terima karena jemaat-jemaat gereja dari hari ke hari semakin sedikit saja yang meminjam uang atau mengambil kredit-kredit barang darinya. Ia merasa Pendeta Sinara yang telah menghasut mereka. Di kampungku Haji Sobron memang terkenal sebagai pembiak uang. Renternir. Berapa saja warga butuh uang, ia meminjamkannya dengan cepat dan mudah, namun sayangnya dengan perjanjian bunga sangat mencekik. Ia juga menyediakan kredit berbagai kebutuhan barang, namun sayangnya pembayaran harus dicicil dengan angsuran tinggi. Itulah sebab, kadang-kadang dalam hati aku mencemooh kelakuan Haji Sobron yang kikir dan lintah darat. Tak sedikit hidup warga kemudian menjadi galau setelah berurusan dengannya. Menurut penilaianku Haji Sobron hanya manusia rakus dan serakah yang menyamar dengan sorban. Lelaki tua berkumis tebal itu tak akan segan-segan menyita barang apa saja jika warga terlambat membayar hutangnya.

Saat Pendeta Sinara terancam, ternyata satu-satu warga yang gagah berani mencegah Haji Sobron adalah Mat. Kata Ayah, suasana kampung benar-benar memanas ketika itu. Beberapa warga yang ikut Haji Sobron malah telah berancang-ancang membakar gereja.

“Pulang semua. Pulang! Ini sekarang urusan saya, Pendeta, dan Pak Haji!” dengan lantang Mat mengusir warga yang menyemut di gereja sambil pasang badan di pintu rumah ibadah itu.

Haji Sobron sendiri entah kenapa ikut gentar mendengar suara Mat. Ia sendiri yang kemudian membubarkan warga pengikutnya. Lalu masalah itu tak dilanjutkannya.

Begitulah kemudian hingga dua tahun sesudahnya waktu berlalu. Kampung tetap damai seperti sediakala. Lalu aku dengar lagi kabar selanjutnya tentang Mat. Teman kecilku itu diceritakan sempat menghilang lagi dari kampung selama dua tahun. Setelah muncul lagi, perangai ibadahnya berubah aneh. Mat mulai jarang sholat jemaah di masjid. Lebih suka ia datangi masjid di tengah malam. Warga menduga Mat sedang khusuk mengamalkan sejenis ilmu, atau ngelmu. Perihal ngelmu  itu berlangsung cukup lama, sampai-sampai Ayah dan Ibuku sendiri turut cemas dan prihatin melihat Mat yang mulai berubah dari caranya bertutur kata dan lama-kelamaan menjadi pelamun yang suka bicara sendiri. Puncaknya saat Mat menggegerkan kampung tatkala mengumumkan kepada puluhan warga ia mendapat bisikan gaib untuk memaklumatkan bahwa agama-agama yang dianut sekarang sudah tak berlaku lagi di muka bumi, maka itu ia diperintahkan oleh langit untuk memusnahkannya. Mat bilang, ia harus memulai pemusnahan dengan permulaan membunuh Haji Sobron dan Pendeta Sinara.

“Hilangnya digdaya agama membimbing umat karena masa berlakunya memang sudah habis dipakai. Agama yang sudah tak berlaku, tak beda obat yang kadaluarsa, bukannya ia menjadi penyembuh dan penyeimbang jiwa melainkan menjadi racun yang menghancurkan. Berpuluh tahun kalian menjadi jemaah masjid, berpuluh tahun pula warga yang lain menjadi jemaat gereja, apakah itu semua membuat cara hidup dan moral kalian menjadi baik? Dengki, hasut, takut kekurangan, takut lapar, bahkan tindas-menindas, korupsi, kerusakan moral, tak lagi bisa dihentikan oleh digdaya agama di manapun di muka bumi ini, semua menandakan bahwa Tuhan tak lagi hadir dalam agama manapun dan menandakan bahwa kita tak sungguh-sungguh menyembah Tuhan yang kita sembah. Apa boleh buat, Haji Sobron dan Pendeta Sinara adalah pemimpin-pemimpin palsu yang pertama-tama harus saya lenyapkan!”

Warga kampung seluruhnya dibuat mencekam mendengar pernyataan Mat. Pernyataan itu kemudian ia sampaikan tak hanya di pos kamling, di pangkalan ojek, atau di pasar tempel kampung, namun intens dari pintu ke pintu rumah warga. Tetapi begitulah kelanjutannya, karena warga langsung bersiaga, Mat tak pernah sungguh-sungguh melaksanakan apa yang ingin ia lakukan terhadap Haji Sobron dan Pendeta Sinara. Pernyataan Mat hanya angin lalu dan dianggap pernyataan orang gila oleh seluruh warga. Untuk menghindari Mat macam-macam terhadap dua orang tokoh agama kampung kami itu, warga sepakat tetap waspada dan mengawasi gerak-gerik Mat.


Aku sedang menanti kelahiran anak keduaku ketika Ayah menelpon malam itu dan menceritakan perkembangan Mat selanjutnya. Malam itu Ayah bilang Mat sudah tak tertolong lagi. Teman kecilku itu sudah hilang kewarasannya. Gila! Dituturkan oleh Ayah, karena kegilaannya di kampung Mat sering menyelonong masuk ke masjid saat warga sedang sholat berjemaah dan orang-orang yang sholat dijadikan gurauannya.  Kadang-kadang ia memorotkan kain sarung jemaah yang sedang berdiri khusuk. Kadang-kadang ia menepuk pantat jemaah yang sedang rukuk. Sekali waktu Haji Sobron yang sedang sujud saat menjadi imam dinaikinya jadi kuda-kudaan.

Ihwal tidak warasnya Mat jadi gangguan juga di gereja. Saat Pendeta Sinara memimpin jemaatnya sembahyang di gereja, Mat banyak muncul mengganggu. Kadang-kadang ia menjewer telinga beberapa jemaat. Kadang-kadang ia berdiri di depan seluruh jemaat dan memainkan tubuhnya yang mengundang kelucuan.  Sekali waktu ketika Pendeta Sinara sedang menyampaikan siraman rohani si Mat menarik kedua pipi Pendeta itu.

Haji Sobron paling marah. Lama-kelamaan kelakuan Mat tak bisa ditolelirnya. Ia protes keras dan mengusulkan agar kerabat Mat memasung lelaki itu. Usul itu didukung oleh semua warga. Aku dikabarkan juga oleh Ayah lewat telpon tentang Mat yang akhirnya diseret-seret oleh warga kampung untuk dipasung di belakang rumah keluarganya.

Sekian bulan menjalani pemasungan, Mat menderita. Kadang ia berteriak-teriak tengah malam. Kadang menangis. Kadang berhari-hari ia menolak diberi makan oleh keluarganya.  Tubuhnya menyusut. Kurus. Tubuhnya tak terurus. Bau.

Pendeta Sinara satu-satunya orang yang sangat prihatin melihat penderitaan Mat. Suatu ketika lelaki berusia lanjut itu bersilaturahmi ke masjid menemui Haji Sobron.  Ayahku ikut mendengar pembicaraan keduanya yang menyoal ihwal Mat. Pendeta Sinara mengusul, demi kemanusiaan ada baiknya Mat dibawa ke Rumah Sakit Jiwa saja. Argumen sang Pendeta, Mat masih ada harapan untuk sembuh jika diobati secara baik. Warga tak perlu risau soal biaya, kata Pendeta, ia yang akan meekomendasikannya lewat sebuah yayasan gereja.

Haji Sobron belingsatan. “Saya curiga, jangan-jangan kebaikan Pak Pendeta ini ada udang di balik batunya! Sampeyan ingin jadi pahlawan jangan-jangan dengan maksud mencari pengikut?”

Pendeta Sinara buru-buru menepis. “Tidak, ini murni kemanusiaan. Saya hanya prihatin melihat Mat dipasung begitu rupa. Lagipula saya merasa ada hutang budi kepadanya.”

“Ah, saya tidak setuju. Teling kucing! Biar saja Mat seperti itu. Kita tahu anak itu bukan saja gila, tapi sudah kerasukan iblis. Apa Sampeyan tidak takut kalau nanti dia sembuh lalu kumat lagi mau bunuh kita berdua. Sudah terang-terangan anak itu penganut aliran sesat, mau dibela. Jangan obati macan yang sakit, nanti menerkam muka Sampeyan sendiri.”

“Saya yakin Pak Haji. Saya yakin Mat masih bisa kita tolong. Setelah sembuh, kita bisa luruskan kembali pandangan beragamanya,” sela Pendeta. “Kita semua tidak baik berdiam diri melihat salah satu anggota keluarga kampung kita tersiksa seperti Mat.”

Haji Sobron terdiam. Setelah cukup lama berpikir-pikir diajukannya satu pertanyaan, “Jika ini kita lakukan, apakah Sampeyan yakin aku tidak akan terbawa-bawa menanggung biaya pengobatannya?”

“Biarlah itu jadi urusan saya,” jawab Pendeta.

“Ya sudah, bicarakan ini dengan keluarganya,” pungkas Haji Sobron.

Yang aku dengar kemudian Mat sudah dirawat di sebuah Rumah Sakit Jiwa di kota. Tak sampai satu tahun berselang, Ayah kembali bercerita bahwa Mat berhasil disembuhkan dan telah kembali ke kampung. Namun kepulangannya itu menimbulkan perkara lain. Sepulangnya, Mat memilih tinggal di gereja bersama Pendeta Sinara. Hal itu sangat menimbulkan keresahan warga kampung. Muncullah tuduhan bermacam-macam yang menyasar ke Pendeta Sinara. Di gereja itu, Mat sendiri memilih tertutup dan enggan tampil ke muka umum.

“Jangan-jangan Mat sudah Sampeyan hasut pindah agama?!” Haji Sobron paling lantang bersuara.

“Tidak!” Pendeta Sinara selalu tegas memberi jawaban.

“Kalau begitu suruh Mat keluar untuk memberi penjelasan kepada kami!” tuntut beberapa warga.

“Saya sudah berulang-ulang membujuknya, tapi Mat belum mau. Hanya Ayah dan Ibunya yang mau dia temui. Kalian boleh bertanya kepada beliau-beliau apakah Mat pindah agama atau tidak untuk menghindari fitnah di antara kita.”

Pendeta Sinara tidak bohong. Meski memilih tinggal di gereja bersama Pendeta Sinara, Mat tetap memeluk Islam sebagai agamanya. Di kamar yang ditempatinya di gereja, ia tetap rajin sholat sebagaimana menjadi kewajiban baginya. Aku sendiri yang melihat dan membuktikan itu ketika sebulan lalu berkesempatan pulang menengok kampung. Desas-desus warga membuatku penasaran sore itu, jadi aku putuskan menjenguk Mat. Saat muncul di gereja, Pendeta Sinara pun masih mengenal baik siapa aku,
“Kamu Muslimin ya, anak Pak Paijo. Wah, sudah gagah kamu sekarang. Enak ya tinggal di Jakarta sampai jarang-jarang kamu muncul di kampung.”

“Saya mau bertemu Mat, Pak Pendeta. Boleh?”

“Tentu saja boleh. Mat itukan teman kecilmu. Daya masih ingat bola mainan kalian pernah nyasar memecahkan jendela gereja ini. Dulu kalian berdua sama nakalnya. Tapi tunggu dulu, saya harus beritahu Mat dulu bahwa kamu mau bertemu. Saya sendiri bingung, sekarang hanya orang-orang tertentu saja yang mau ditemuinya.”

Untunglah Mat masih mengingatku. Ia bersedia aku temui. Pendeta Sinara yang mengantarku ke kamarnya. Melihat keadaan kamarnya, tentu saja apa yang dipikirkan warga kampung salah semua. Kamar sederhana di sudut belakang gereja itu dipenuhi banyak sekali buku-buku islami koleksi Mat. Ada Al Qur’an juga. Ada sajadah. Mat sendiri sedang menulis saat aku masuk menemuinya.

“Beginilah kesibukanku sekarang, Mus,” katanya. “Di samping aku bantu-bantu Pak Pendeta di gerejanya ini, waktuku sekarang lebih banyak habis untuk menulis. Aku sedang konsentrasi menyelesaikan sebuah buku. Pendeta Sinara berjanji membantuku untuk menerbitkannya nanti.”

“Buku tentang apa, Mat?”

“Tentang hidup damai antar pemeluk agama berbeda.”

“Apakah kau yakin dengan apa yang kau tulis?”

“Rasullullah saja sudah membuktikan itu dalam hidupnya. Rasullullah tidak pernah memerangi agama-agama, yang Beliau perangi adalah para penentang, penyeleweng, dan para penindas dalam agama-agama.”

“Mat, apakah kau tidak takut gereja ini mengalihkan keyakinanmu?”

Mat tersenyum. “Ketahuilah Mus, iman dinamai iman karena ia hadir bukan berdasar transaksi sosial. Bertahun-tahun kau serumah tidur dengan istrimu, apakah itu lantas merubahmu menjadi perempuan? Iman itu hadir di relung jiwa. Tak ada fatwa atau batas tafsir yang semena-mena mempertentangkannya jika ia benar-benar telah hadir sebagai cahaya spiritual. Jika materi, godaaan sosial, penderitaan, masih acap mengalahkan imanmu, sebenarnya boleh disimpulkan kau belum beriman. Kau masih ragu dan takut Tuhan tidak mencukupimu. Kau menunda sholatmu dan mementingkan urusan kerja karena takut dipecat, dengan demikian kau telah mentiadakan Tuhan demi pertarungan duniawimu. Jadi jangan risaukan keberadaanku di dalam gereja ini. Aku bersikukuh tinggal di sini bukan hendak menjual keyakinanku, tapi karena aku lihat Pendeta Sinara memang orang yang tulus membantuku. Di usia senjanya, aku ingin berdampingan dengan Beliau tak ubahnya dia orang tuaku sendiri.”

Aku dan Mat berbincang hingga terdengar bedug Maghrib. Begitu bedug berbunyi, Mat sudah menarik tanganku mengajak berwudhu. Lalu di kamarnya ia membentangkan sejadah. Itulah pertama kalinya aku sholat jemaah bersama Mat, di dalam gereja. (*)




    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar