Pijar surya berseri di pemukiman mewah Villa de Green,
merayap jatuh di jendela kamar, dan seorang wanita dewasa terbangun,
menyibak selimut dan merapikan rambut, juga membenah diri yang hanya
dibungkus gaun lembut sutera alami berenda-renda, hingga tampaklah
keindahan tubuh dan kemolekan dadanya yang seputih belahan pir. Wanita
itu lalu melangkah dan berkutat sejenak di meja rias, melepas masker
wajah, kemudian mematut-matut diri di kaca. Tak lama wanita berpinggul
padat itu melangkah meninggalkan kamar menuju sebuah meja sambil
setengah berteriak ke lantai bawah meminta sesuatu pada dua perempuan
pesuruhnya. Setelah salah satu pesuruh menghidangkan minuman hangat
kesukaannya, ia asik terpekur di meja itu, tempat ia menumpuk segala
buku, laptop, serta berbagai alat kerja elektroniknya. Tiga tahun
sekarang, sungguh ia telah menikmati kebebasannya, sebuah kehidupan
baru, meski hidupnya menyepi dan menyendiri di sudut kota yang tak
sebesar kota Jakarta atau kota-kota Mancanegara.
Sejak kepulangannya dari Madrid tiga tahun lalu, wanita kaya
berparas melankolik itu memang tak tertarik lagi menetap di Jakarta.
Ibukota hanya akan membangkitkan ingatannya, tentang kepahitan yang
telah menghancurkan ia dan ibunya. Bahkan ia tak tertarik lagi
berhubungan dengan orang-orang yang mengaku masih setia kepada ibunya
yang beberapa tahun belakangan menjadi kontak dan pelindungnya. Ia tak
peduli meskipun orang-orang itu telah begitu berjasanya mengatur
kepergian dan kepulangannya, mengatur persembunyiannya yang
berpindah-pindah, termasuk mengatur sisa kekayaan dan aset tersembunyi
milik ibunya yang kini hanya sedikit saja bisa kembali dalam
genggamnya. Ia tak butuh lagi kontak apapun, maka ia hapus dari ingatan
semua orang dari masa lalunya hingga tak tersisa lagi yang terhubung
dalam kehidupan barunya. Apakah semua orang terpedaya atau tidak, ia
tak peduli.
Sekarang ia makin terbiasa menikmati hidup
barunya. Ia membeli sebuah rumah mewah di Villa de Green, tempat
tinggal yang asri, yang mencerminkan keanggunannya. Bandar Lampung
memang tak semetropolis Jakarta, Canbera, London, Paris, Roma atau
Madrid. Tak ada di sini gedung pencakar langit, tak ada di sini
julangan monumen seperti Monas, tak ada di sini menara-menara historis
sepopuler Eifel atau Pisa, tak ada di sini Dream Theatre, tak pula di
sini ada stadion sepakbola semegah Santiago Barnebue atau rumah-rumah
hiburan gelap snobis. Tetapi sama saja, di kota inipun keindahan
memancur dan membayang, sang surya tetap berpijar hangat, dan di
mana-mana dipenuhi kehidupan. Kota ini telah menentramkan gebalau
jiwanya dan berangsur mengobati pedih panjangnya. Di kota inilah ia
menemukan tempat untuk menumpas sisa risau dan menepis endapan
traumanya. Satu rumah mempesona sudah cukup baginya menjadi tempat
naungan dan tempat mengubur morgana hitam yang menyisa dari masa lalu
ibunya.
Memang, rumah itu bukan sekedar rumah, tapi juga
taman penantian untuk menyambut kepulangan ibunya kelak. Ia sadar
semua yang melekat masih milik ibunya. Ia hanya membayangkan betapa
renta ibunya kelak saat ia menyambut kepulangan itu. Maka rumah itu ia
hiasi dengan banyak bunga, taman dan kolam berair jernih, teras luas
yang teduh, serta ruang-ruang peristirahatan nyaman berwarna sepia.
Kelak ia berharap semua itu akan menentramkan hati dan jiwa lelah
ibunya.
Kini hampir tiga tahun ia tempati rumah itu setelah
kota demi kota di berbagai belahan dunia ia lampaui. Kini kekuatan
hidup terasa menopangnya lagi. Ia tak punya alasan lagi untuk risau.
Uang mengubah segalanya dan kini membawanya ke tempat tentram. Setiap
bercermin, ia memang berubah.Tak perlu diulangnya lagi nestapa muram
pada empat atau lima tahun silam: bangun pagi dan bersembunyi,
membayar sewa hotel dan berpindah-pindah, keluar malam dengan berbagai
penyamaran, hanya untuk menghindari pertanyaan pemburu berita yang
tak penting ia jawab. Kini wajahnya tak akan pernah diketahui lagi.
tak seorangpun akan mengetahui. Ia bebas! Ia tak butuh pengawasan dan
perlindungan. Pelindungnya adalah kebebasan yang telah ia peroleh
sekarang. Orang akan bertanya-tanya: kemana Sofie Anasti? Kemana menghilangnya anak Julia Yiana yang kini meringkuk di penjara? Kemana anak koruptor itu? Tentu mereka tak akan tahu. Tentu mereka tak akan melacak jejaknya hingga ke klinik bedah kecantikan Antonio Derrin di Madrid tempat ia menyamarkan wajahnya.
Baginya tiga tahun bukan waktu singkat. Selama itu ia telah menata
ulang kehidupannya. Kini ia menyimpan banyak uang sebanyak ia menyimpan
kepedihannya. di rumah itu ia mulai membangun kekuatan untuk bangkit
dari sisa kehancuran ibunya. Ia tak biatkan uang-uang dalam
genggamannya menjadi sampah tak berguna. Orang risau tak memiliki uang,
ia justru risau karena uang bertumpuk di pelupuknya. Ia telah
pikirkan, uang-uang itu harus disemai untuk menumbuhkan kembali
kekuatan penopangnya. Ia ingin kejayaan yang pernah melekat pada ibunya
perlahan bersemi lagi melalui tangannya. Kini ia memang telah membuka
ladang persemaian itu tempat ia menyusun calon-calon penopangnya.
Kini ia tak henti merengkuh siapapun yang dipandangnya handal dan
berguna untuk disiapkan menjadi penopangnya. ia tak butuh orang
pintar. Ia hanya butuh teman-teman setia. Dalam rencana-rencananya
sekarang, ia seperti berhadapan dengan sebidang papan catur. Ia yakin
satu-persatu penopangnya akan tumbuh dan tangannya tak akan terhalang
mendermawani mereka. penopang-penopang itu yang akan menjadi
bidak-bidaknya kelak.
Kini ia makin bergiat di ladang
persemaiannya. Telah banyak ia benihkan kemurahan-kemurahan dan
bentuk-bentuk kebaikan yang menonjol. Ia mulai mengakrabi orang-orang
yang datang mengungkap jelas padanya bahwa untuk negeri ini lebih dari
sekedar cinta yang akan mereka berikan, tapi juga pengabdian. Ia tak
peduli apakah itu utopia belaka. Ia hanya mengagumi orang-orang yang
berkomitmen serta berjanji setia akan menjadi penopangnya. Untuk
mereka, ia tak peduli berapa banyaknya uang ia habiskan untuk
mendermawani mereka. Kelak, kepada mereka ia tak mengharapkan semua
itu kembali. ia hanya mengharap pengertian dan topangan.
Tiga tahun lamanya wanita itu terus berusaha. Sekeras mungkin ia telah
bekerja. Lalu seiring waktu, dengan uang dan segala keasaannya ia
memperkenalkan diri barunya ke khalayak terhormat. Semua mengalir
seperti air saat ia mulai dikenal sebagai Konsultan Pencitraan Publik.
Di ladang persemaiannya beberapa penopang pun mulai tumbuh setelah ia
benihi. Segalanya makin mudah setelah banyak orang penting di negeri
ini terpedaya dan mempercayai begitu saja bahwa ia tak lebih seorang Konsultan Pencitraan Publik.
Itulah yang memberinya jalan lebih leleuasa untuk melihat dan menilai
calon penopang yang pantas masuk ke ladang persemaiannya, meski tak
dipungkiri kadang ia menarik keuntungan tak sedikit dari usahanya
bermain-main dengan para politikus itu.
Beberapa bulan
terakhir, di kota ini wanita itu sedang terhubung ke dua orang penting
sekaligus. Antara satu dengan yang satu tak saling tahu bahwa ia
berada di antara keduanya. Kadang dipikirnya, ia bekerja untuk dua
klien yang sama bodohnya. keduanya jelas jauh dari harapan jika publik
mengidamkan mereka tampil sebagai sosos yang rela berkorban
menjalankan amanah dengan segala cinta dan pengabdian, dan tak pula ia
tertarik mengambil keduanya sebagai calon penopang di ladang
persemaiannya. Tapi bagaimanapun ia tetap bertindak wajar untuk
keduanya sebgaimana mereka telah mempercayai dan mengontraknya dengan
bayaran tak sedikit. Soal bayaran-bayaran yang sering ia terima, ia
kadang tertawa sendiri. Inilah barangkali yang dimaksud pepatah: sambil menyelam di kolam susu sering-seringlah meneguk susunya.
Kini
sedikit waktu mulai ia bagi untuk kedua kliennya. Lucunya, kedua
klien itu sama-sama akan bertarung memperebutkan kursi kehormatan di
kota ini. Kadang ia berpikir, kenapa kedua orang itu tak mengukur
eksistensi sejauh mana mereka ada dan diakui dalam sistem dan ranah
sosial. Apakah mereka hanya memanfaatkan kesempatan yang terbuka?
Ataukah mereka terlalu yakin bahwa masyarakat di kota ini masih
terbiasa menyelesaikan nalar politiknya melalui mekanisme uang dan
pencitraan? Ia pesimis. Kedua kliennya memang orang-orang penting
dengan kekayaan lumayan. Tapi jauh-jauh hari ia sudah tekun mempelajari
bahwa rima dan kultur politik di kota ini tidak relevan lagi
dijadikan tolak ukur keduanya jika masih terpaku mengandalkan
mekanisme utopis semacam itu. Distribusi sosial-politik masyarakat di
kota ini tidak lagi menggantungkan nalar pada politik figuran atau
uang belaka. Mekanisme uang dan pencitraan tidak lagi sekeramat dulu.
Stigma bahwa politik sangat pragmatis dan transaksional mulai luntur
oleh nalar publik.
Akhirnya ia melihat banyak faktor bisa mengubah,
mengganggu, bahkan meruntuhkan ambisi kedua kliennya. Keduanya tak
memiliki basis organisasi sosial yang kuat, mereka tak memilki satupun
karya berarti di tengah kolektiva sosial, bahkan tak ada riwayat
bahwam keduanya pernah berkecimpung murni ke wilayah masyarakat
religius yang basis massanya sangat dominan. Puncak pemilihan memang
masih akan berlangsung beberapa tahun mendatang. Tapi tetap terlambat
jika kedua kliennya baru akan bergerak menjalin ikatan-ikatan
sosial-emosional baik secara fisik maupun virtual. Horison
sosial-politik untuk langkah kedua kliennya telah terbatas. Kota ini
bukan tempatnya lagi jika seorang politikus bergerak ambisius hanya
mengikuti pancaran ideologinya, mengadu kekuatan uangnya, atau
membambing nalar politik warga dengan pencitraan-pencitran artifisial.
Lagipula ia pikir, kota ini tak pantas jika dipimpin orang-orang baru
utopis seperti mereka. Keduanya pun tak pantas menjadi calon penopang
di ladang persemaiannya. Ia tak tertarik.
Tetapi
begitulah, bahwa politik adalah politik. Kedua kliennya tak pernah
pesimis. Sejalan optimisme mereka, ia dikontrak dan dipercaya menjadi
tangan di belakang layar untuk membangun pencitraan keduanya di tengah
sosial-kolektiva. Mereka butuh pencitraan maka ia beri apa yang mereka
pinta karena pencitraan publik memang bidangnya dalam dua tahun
terakhir. Ia sewajarnya tetap bekerja untuk mereka. Ia sepatut mungkin
mulai mendesain atribut-atribut dan pos-pos pemaknaan di ruang publik
yang sekiranya berguna menambah kualitas figuratif mereka, meski
menurutnya itu tak menjadi ukuran keberhasilan lagi dalam pola
komunikasi politik. Menyebar secara membabibuta berbagai foto dan
atribut partai ke berbagai sudut dan pelosok kota tak lagi mengandung
peran signifikan jika tujuannya menyuguhkan buaian, karena sungguh
sesat jika publik memilih seseorang hanya berdasar kekaguman melihat
pesona visual seseorang. Baginya, komunikasi politi massa yang tepat
adalah bagaimana fisik mencapai massa, dengan sentuhan ide, solusi
konkret, nasionalisme dan kompas moral yang merasuk. Sejauh sosok itu
telah dikenal tidak hipokrit dan tidak berniat mencabuli
komitmen-komitmennya sendiri, maka tak penting lagi pencitraan visual.
Tetapi begitulah, bahwa komitmen tetap komitmen. Wanita itu tak mau
mencederai komitmennya antara ia dengan keduanya. Ia tetap menjunjung
kepatutan sebagaimana keharusan seorang konsultan pencitraan memenuhi
pesanan-pesanan kliennya, terlepas bahwa kemudian ia akan mengkhianati
mereka.
Telpon di pelupuk wanita itu berdering.
Ia mengangkatnya. "Ya, selamat pagi Pak! Masih ada yang kurang jelas, Pak?"
"Aku tak memaksa kamu terburu-buru," terdengar suara di seberang
sana. "Tahun pemilihan memang masih jauh. tapi bagaimanapun kamu harus
mulai menyiapkan konsep-konsep jitu agar publik kota ini makin banyak
mengenalku. Jika kita lamban, orang lain akan mendahului. Buatlah
konsep dengan segala embel-embel menarik agar setiap mata melihat aku
ada di situ. Jangan lagi kau bicara padaku tentang konsep facebook dan twitter itu. Otak warasku tak nalar dengan itu."
"Ok. Aku akan coba gagasan lain untuk pemanasan kita. Semua yang terbaik tetap tercurahkan untuk Bapak!"
Itulah Mr. S salah satu dari dua kliennya. Mr. S jenis manusia penuh
lagak jika ia mulai mencuap di telpon. Namun wanita itu tak pernah
serius menanggapi omelan-omelan lelaki congkak tadi. Menurutnya Mr. S
belum dewasa secara politik. Baru pertama terjun ke kancah politik kota
lelaki itu telah banyak mencetak keluhan. Lelaki itu selalu
membangga-banggakan jubah kekayaannya serta embel-embel jabatan penting
masa lalunya yang jelas sudah dilupakan orang. Ia tak memiliki
pandangan baik tentang korupsi. Makrifat sosialnya sangat kering jika
dituntut menyikapi kegelisahan arus bawah. Ia juga terlampau steril
untuk sekedar peduli mencium kentut-kentut sosial yang berlangsung di
sekitarnya. Tetapi begitulah politikus amatir, dengan segala
kedudukan-kedudukan agung yang melekat, mereka merasa selalu pantas
menjadi pemimpin dengan mengandalkan kedudukan itu. Politikus karbitan
itu mungkin tak pernah membaca John Maxwell, bahwa setiap orang merasa mampu mengemudikan kapal, namun hanya beberapa orang yang benar-benar mengemudikan kapal.
Dengan terlampau sering mencuap dan mengomel sebenarnya Mr. S hanya
ingin memperlihatkan lagaknya. kadang dalam hati wanita itu
menyerapahinya. jika lelaki itu merasa lebih pandai, kenapa pula masih
butuh pertolongannya. Minggu lalu ia memang mempresentasikan konsep
pencitraan melalui jejaring sosial kepada Mr. S. ia membuat perincian
dan menjelaskan detil kerjanya. Namun sudah jelas tadi, Mr. S
menampiknya. tentu wanita itu tak perlu berkecil hati dengan penolakan
Mr.S Mungkin konsep politik lelaki itu masih terkontaminasi pola-pola
konvensional dan cara tradisional. Kadang ia ingin mengolok Mr. S, kenapa tak datang saja ke stasiun-stasiun televisi swasta dan memborong seluruh slot iklannya.
Beda
lagi dengan Mr. B kliennya yang seorang akademisi dan banyak
berkecimpung di bidang seni dan kebudayaan. Lelaki itu tidak cerewet
dan menyerahkan penuh soal pencitraan dirinya apapun bentuk konsep yang
ditawarkan. Tapi ia menilai Mr. B terlampau prematur mencampakkan diri
ke panggung politik. Citra politik justru hanya akan mengotori
nilai-nilai akademisi yang sudah melekat baik pada dirinya. Sementara,
di bidang seni dan kebudayaan, lelaki itu tak banyak memiliki prestasi
yang menonjol. Ia memprediksi justru kemudian akan terjadi erosi makna
dengan timbulnya banyak pertanyaan di ruang publik menyoroti motivasi
seorang Mr. B yang ambisi mencari kedudukan. Dengan segala retoris akademik dan postulat-postulat kebudayaannya, Mr. B tetap tak bisa membelakangi nalar politik masyarakat perkotaan yang terbuka matanya lebar-lebar bahwa siapapun yang ambisius mengincar kedudukan tentu motivasinya tak akan pernah lepas dari hasrat dan nafsu berkuasa belaka. Tapi Mr. B tak keberatan ketika ia tawarkan pada lelaki itu konsep pencitraan melalui website dan jejaring sosial. Mr. B justru menanggapinya dengan optimis.
Tentu wanita itu mulai sibuk sekarang mendesain penampilan Mr. B di dunia maya. Tak hanya jejaring sosial facebook dan twitter yang diberdayakannya untuk pencitraan di dunia maya, tapi ia juga mulai merancang tigapuluh website skunder dan tiga website
primer berbayar untuk membangun citra seorang Mr. B di mata publik
kota. Sasarannya tentu saja warga kota pengguna jejaring sosial dan para
websiter. Wanita itu telah memiliki seribu lebih akun facebook
pendukung dan ratusan akun twitter di mana setiap akun telah memiliki
seribu lebih teman dan pengikut. Akun-akun “rekayasa” itu terhubung ke
akun facebook dan twitter Mr. B sebagai teman atau pengikut. Wanita itu pula sebenarnya yang mengendalikan akun facebook dan akun twitter Mr. B. Status dinding dan tweet di facebook dan twitter Mr. B selalu ditulisnya seindah dan semenarik mungkin, lalu akun-akun “rekayasa” segera merespon, baik dengan like atau komentar-komentar penuh dukungan, maka tampaklah Mr. B sebagai sosok tanpa cela.
Lalu untuk pencitraan Mr. B di website, wanita itu mendesain semenarik mungkin puluhan website sekundernya dengan display materi bacaan dan informasi-informasi menarik. Di setiap website itu ia sisipkan sosok Mr. B baik secara visual maupun verbal.
Citra Mr. B yang ditampilkan tentu sebagai sosok tanpa cela: kalem,
santun, cerdas, pembela kebenaran, jujur, anti korupsi, nasionalis, dan
pro rakyat! Agar setiap mata tertuntun melihat website-website itu, ia manfaatkan akun-akun facebook dan akun-akun twitter rekayasanya dimana setiap foto sampul akun-akun itu ia tampilkan besar-besar alamat-alamat website sekundernya.
Klimaks dari konsep pencitraan dunia maya ini ada pada desain website primer yang total dirancang sebagai website pribadi Mr. B. Di website primer ini Mr. B dicitrakan bak sosok Hamlet atau Ratu Adil sehingga siapapun websiter yang
singgah akan tergetar seakan mereka melihat sosok calon pemimpin yang
sangat diidam-idamkan. Agar banyak mata tertarik singgah ke website primer, di website sekunder wanita ini sangat maksimal memposting materi-materi menarik dan terhangat yang fokus isinya kemudian di-link ke website primer.
Memang, bagi wanita ini, memanfaatkan kecanggihan teknologi membuat
segalanya menjadi mudah. Begitulah konsep pencitraan dunia maya yang
dirancangnya untuk klien. Di dunia maya segelas cuka bisa dioplos-oplos
dengan sedikit tambahan gula, kecap, air jeruk, madu, hingga yang
terhidang adalah jus lemon. Tapi soal efektifitas, tentu saja semua akan
kembali ke nasib baik sang klien. Soal hasil akhir kembali ke faktor
nasib. Wanita itu hanya berusaha menjalankan secara profesional apa yang
perlu ia lakukan agar klien-kliennya tak merasa tertipu dan agar
reputasinya tak ambruk.
Dalam hidupnya sekarang, bisnis pencitraan yang dijalankannya itu sesungguhnya hanya sebagai intermezzo
di samping bisnisnya yang lain. Dalam pikiran klien-kliennya mungkin
mereka mengira ia bekerja sebagai “konsultan pencitraan publik” semata
demi uang. Mereka jelas salah duga. Seandainya ia tunjukkan jumlah
uang-uang yang dimilikinya kepada mereka, jelas klien-klien itu akan
terperanjat. Belum lagi jika mereka tahu tentang bisnis besar lain yang
kini ia kelola sendiri, sebuah bisnis berbasis online yang perputaran uangnya mencapai milyaran perhari. Dari bisnisnya yang berlabel “Queen4D”
itu ia paling tidak meraup keuntungan bersih ratusan juta per minggu.
Tapi lebih dari apapun yang ia punya, tentu pada akhirnya semua akan ia
dedikasikan untuk ladang persemaiannya, karena tak ada yang lebih
penting dan lebih menarik baginya sekarang kecuali ladang persemaian
yang tengah ia bangun.. Ia sadar, inilah saatnya untuk bergerak dan
tampil menyantuni gejolak arus bawah agar kelas-kelas baru dapat bangkit
untuk ia bawa ke ladang persemaiannya. Dari ladang persemaian itu kelak
ia berharap akan mempunyai banyak pengikut dan pelindung.
BERSAMBUNG
Tidak ada komentar:
Posting Komentar