ostradata.com

ostradata.com

Selasa, 24 September 2013

MAN & MOON (Tiga)

Pijar surya berseri di pemukiman mewah Villa de Green, merayap jatuh di jendela kamar, dan seorang wanita dewasa terbangun, menyibak selimut dan merapikan rambut, juga membenah diri yang hanya dibungkus gaun lembut sutera alami berenda-renda, hingga tampaklah keindahan tubuh dan kemolekan dadanya yang seputih belahan pir. Wanita itu lalu melangkah dan berkutat sejenak di meja rias, melepas masker wajah, kemudian mematut-matut diri di kaca. Tak lama wanita berpinggul padat itu melangkah meninggalkan kamar menuju sebuah meja sambil setengah berteriak ke lantai bawah meminta sesuatu pada dua perempuan pesuruhnya. Setelah salah satu pesuruh menghidangkan minuman hangat kesukaannya, ia asik terpekur di meja itu, tempat ia menumpuk segala buku, laptop, serta berbagai alat kerja elektroniknya. Tiga tahun sekarang, sungguh ia telah menikmati kebebasannya, sebuah kehidupan baru, meski hidupnya menyepi dan menyendiri di sudut kota yang tak sebesar kota Jakarta atau kota-kota Mancanegara.





 Sejak kepulangannya dari Madrid tiga tahun lalu, wanita kaya berparas melankolik itu memang tak tertarik lagi menetap di Jakarta. Ibukota hanya akan membangkitkan ingatannya, tentang kepahitan yang telah menghancurkan ia dan ibunya. Bahkan ia tak tertarik lagi berhubungan dengan orang-orang yang mengaku masih setia kepada ibunya yang beberapa tahun belakangan menjadi kontak dan pelindungnya. Ia tak peduli meskipun orang-orang itu telah begitu berjasanya mengatur kepergian dan kepulangannya, mengatur persembunyiannya yang berpindah-pindah, termasuk mengatur sisa kekayaan dan aset tersembunyi milik ibunya yang kini hanya sedikit saja bisa kembali dalam genggamnya. Ia tak butuh lagi kontak apapun, maka ia hapus dari ingatan semua orang dari masa lalunya hingga tak tersisa lagi yang terhubung dalam kehidupan barunya. Apakah semua orang terpedaya atau tidak, ia tak peduli.

  


  Sekarang ia makin terbiasa menikmati hidup barunya. Ia membeli sebuah rumah mewah di Villa de Green, tempat tinggal yang asri, yang mencerminkan keanggunannya. Bandar Lampung memang tak semetropolis Jakarta, Canbera, London, Paris, Roma atau Madrid. Tak ada di sini gedung pencakar langit, tak ada di sini julangan monumen seperti Monas, tak ada di sini menara-menara historis sepopuler Eifel atau Pisa, tak ada di sini Dream Theatre, tak pula di sini ada stadion sepakbola semegah Santiago Barnebue atau rumah-rumah hiburan gelap snobis. Tetapi sama saja, di kota inipun keindahan memancur dan membayang, sang surya tetap berpijar hangat, dan di mana-mana dipenuhi kehidupan. Kota ini telah menentramkan gebalau jiwanya dan berangsur mengobati pedih panjangnya. Di kota inilah ia menemukan tempat untuk menumpas sisa risau dan menepis endapan traumanya. Satu rumah mempesona sudah cukup baginya menjadi tempat naungan dan tempat mengubur morgana hitam yang menyisa dari masa lalu ibunya.
  
  Memang, rumah itu bukan sekedar rumah, tapi juga taman penantian untuk menyambut kepulangan ibunya kelak. Ia sadar semua yang melekat masih milik ibunya. Ia hanya membayangkan betapa renta ibunya kelak saat ia menyambut kepulangan itu. Maka rumah itu ia hiasi dengan banyak bunga, taman dan kolam berair jernih, teras luas yang teduh, serta ruang-ruang peristirahatan nyaman berwarna sepia. Kelak ia berharap semua itu akan menentramkan hati dan jiwa lelah ibunya.
 
  Kini hampir tiga tahun ia tempati rumah itu setelah kota demi kota di berbagai belahan dunia ia lampaui. Kini kekuatan hidup terasa menopangnya lagi. Ia tak punya alasan lagi untuk risau. Uang mengubah segalanya dan kini membawanya ke tempat tentram. Setiap bercermin, ia memang berubah.Tak perlu diulangnya lagi nestapa muram pada empat atau lima tahun silam: bangun pagi dan bersembunyi, membayar sewa hotel dan berpindah-pindah, keluar malam dengan berbagai penyamaran, hanya untuk menghindari pertanyaan pemburu berita yang tak penting ia jawab. Kini wajahnya tak akan pernah diketahui lagi. tak seorangpun akan mengetahui. Ia bebas! Ia tak butuh pengawasan dan perlindungan. Pelindungnya adalah kebebasan yang telah ia peroleh sekarang. Orang akan bertanya-tanya: kemana Sofie Anasti? Kemana menghilangnya anak Julia Yiana yang kini meringkuk di penjara? Kemana anak koruptor itu? Tentu mereka tak akan tahu. Tentu mereka tak akan melacak jejaknya hingga ke klinik bedah kecantikan Antonio Derrin di Madrid tempat ia menyamarkan wajahnya.
  
  Baginya tiga tahun bukan waktu singkat. Selama itu ia telah menata ulang kehidupannya. Kini ia menyimpan banyak uang sebanyak ia menyimpan kepedihannya. di rumah itu ia mulai membangun kekuatan untuk bangkit dari sisa kehancuran ibunya. Ia tak biatkan uang-uang dalam genggamannya menjadi sampah tak berguna. Orang risau tak memiliki uang, ia justru risau karena uang bertumpuk di pelupuknya. Ia telah pikirkan, uang-uang itu harus disemai untuk menumbuhkan kembali kekuatan penopangnya. Ia ingin kejayaan yang pernah melekat pada ibunya perlahan bersemi lagi melalui tangannya. Kini ia memang telah membuka ladang persemaian itu tempat ia menyusun calon-calon penopangnya. Kini ia tak henti merengkuh siapapun yang dipandangnya handal dan berguna untuk disiapkan menjadi penopangnya. ia tak butuh orang pintar. Ia hanya butuh teman-teman setia. Dalam rencana-rencananya sekarang, ia seperti berhadapan dengan sebidang papan catur. Ia yakin satu-persatu penopangnya akan tumbuh dan tangannya tak akan terhalang mendermawani mereka. penopang-penopang itu yang akan menjadi bidak-bidaknya kelak.
  
  Kini ia makin bergiat di ladang persemaiannya. Telah banyak ia benihkan kemurahan-kemurahan dan bentuk-bentuk kebaikan yang menonjol. Ia mulai mengakrabi orang-orang yang datang mengungkap jelas padanya bahwa untuk negeri ini lebih dari sekedar cinta yang akan mereka berikan, tapi juga pengabdian. Ia tak peduli apakah itu utopia belaka. Ia hanya mengagumi orang-orang yang berkomitmen serta berjanji setia akan menjadi penopangnya. Untuk mereka, ia tak peduli berapa banyaknya uang ia habiskan untuk mendermawani mereka. Kelak, kepada mereka ia tak mengharapkan semua itu kembali. ia hanya mengharap pengertian dan topangan.
  
  Tiga tahun lamanya wanita itu terus berusaha. Sekeras mungkin ia telah bekerja. Lalu seiring waktu, dengan uang dan segala keasaannya ia memperkenalkan diri barunya ke khalayak terhormat. Semua mengalir seperti air saat ia mulai dikenal sebagai Konsultan Pencitraan Publik. Di ladang persemaiannya beberapa penopang pun mulai tumbuh setelah ia benihi. Segalanya makin mudah setelah banyak orang penting di negeri ini terpedaya dan mempercayai begitu saja bahwa ia tak lebih seorang Konsultan Pencitraan Publik. Itulah yang memberinya jalan lebih leleuasa untuk melihat dan menilai calon penopang yang pantas masuk ke ladang persemaiannya, meski tak dipungkiri kadang ia menarik keuntungan tak sedikit dari usahanya bermain-main dengan para politikus itu.
  
  Beberapa bulan terakhir, di kota ini  wanita itu sedang terhubung ke dua orang penting sekaligus. Antara satu dengan yang satu tak saling tahu bahwa ia berada di antara keduanya. Kadang dipikirnya, ia bekerja untuk dua klien yang sama bodohnya. keduanya jelas jauh dari harapan jika publik mengidamkan mereka tampil sebagai sosos yang rela berkorban  menjalankan amanah dengan segala cinta dan pengabdian, dan tak pula ia tertarik mengambil  keduanya sebagai calon penopang di ladang persemaiannya. Tapi bagaimanapun ia tetap bertindak wajar untuk keduanya sebgaimana mereka telah mempercayai dan mengontraknya dengan bayaran tak sedikit. Soal bayaran-bayaran yang sering ia terima, ia kadang tertawa sendiri. Inilah barangkali yang dimaksud pepatah: sambil menyelam di kolam susu sering-seringlah meneguk susunya.
    
 Kini sedikit waktu mulai ia bagi untuk kedua kliennya. Lucunya, kedua klien itu sama-sama akan bertarung memperebutkan kursi kehormatan di kota ini. Kadang ia berpikir, kenapa kedua orang itu tak mengukur eksistensi sejauh mana mereka ada dan diakui dalam sistem dan ranah sosial. Apakah mereka hanya memanfaatkan kesempatan yang terbuka? Ataukah mereka terlalu yakin bahwa masyarakat di kota ini masih terbiasa menyelesaikan nalar politiknya melalui mekanisme uang dan pencitraan? Ia pesimis. Kedua kliennya memang orang-orang penting dengan kekayaan lumayan. Tapi jauh-jauh hari ia sudah tekun mempelajari bahwa rima dan kultur politik di kota ini tidak relevan lagi dijadikan tolak ukur keduanya jika masih terpaku mengandalkan mekanisme utopis semacam itu. Distribusi sosial-politik masyarakat di kota ini tidak lagi menggantungkan nalar pada politik figuran atau uang belaka. Mekanisme uang dan pencitraan tidak lagi sekeramat dulu. Stigma bahwa politik sangat pragmatis dan transaksional mulai luntur oleh nalar publik.

Akhirnya ia melihat banyak faktor bisa mengubah, mengganggu, bahkan meruntuhkan ambisi kedua kliennya. Keduanya tak memiliki basis organisasi sosial yang kuat, mereka tak memilki satupun karya berarti di tengah kolektiva sosial, bahkan tak ada riwayat bahwam keduanya pernah berkecimpung murni ke wilayah masyarakat religius yang basis massanya sangat dominan. Puncak pemilihan memang masih akan berlangsung beberapa tahun mendatang. Tapi tetap terlambat jika kedua kliennya baru akan bergerak menjalin ikatan-ikatan sosial-emosional baik secara fisik maupun virtual. Horison sosial-politik untuk langkah kedua kliennya telah terbatas. Kota ini bukan tempatnya lagi jika seorang politikus bergerak ambisius hanya mengikuti pancaran ideologinya, mengadu kekuatan uangnya, atau membambing nalar politik warga dengan pencitraan-pencitran artifisial. Lagipula ia pikir, kota ini tak pantas jika dipimpin orang-orang baru utopis seperti mereka. Keduanya pun tak pantas menjadi calon penopang di ladang persemaiannya. Ia tak tertarik.
   
  Tetapi begitulah, bahwa politik adalah politik. Kedua kliennya tak pernah pesimis. Sejalan optimisme mereka, ia dikontrak dan dipercaya menjadi tangan di belakang layar untuk membangun pencitraan keduanya di tengah sosial-kolektiva. Mereka butuh pencitraan maka ia beri apa yang mereka pinta karena pencitraan publik memang  bidangnya dalam dua tahun terakhir. Ia sewajarnya tetap bekerja untuk mereka. Ia sepatut mungkin mulai mendesain atribut-atribut dan pos-pos pemaknaan di ruang publik yang sekiranya berguna menambah kualitas figuratif mereka, meski menurutnya itu tak menjadi ukuran keberhasilan lagi dalam pola komunikasi politik. Menyebar secara membabibuta berbagai foto dan atribut partai ke berbagai sudut dan pelosok kota tak lagi mengandung peran signifikan jika tujuannya menyuguhkan buaian, karena sungguh sesat jika publik memilih seseorang hanya berdasar kekaguman melihat pesona visual seseorang. Baginya, komunikasi politi massa yang tepat adalah bagaimana fisik mencapai massa, dengan sentuhan ide, solusi konkret, nasionalisme dan kompas moral yang merasuk. Sejauh sosok itu telah dikenal tidak hipokrit dan tidak berniat mencabuli komitmen-komitmennya sendiri, maka tak penting lagi pencitraan visual.
   
 Tetapi begitulah, bahwa komitmen tetap komitmen. Wanita itu tak mau mencederai komitmennya antara ia dengan keduanya. Ia tetap menjunjung kepatutan sebagaimana keharusan seorang konsultan pencitraan memenuhi pesanan-pesanan kliennya, terlepas bahwa kemudian ia akan mengkhianati mereka.
  
  Telpon di pelupuk wanita itu berdering.
   
 Ia mengangkatnya. "Ya, selamat pagi Pak! Masih ada yang kurang jelas, Pak?"
  
  "Aku tak memaksa kamu terburu-buru," terdengar suara di seberang sana. "Tahun pemilihan memang masih jauh. tapi bagaimanapun kamu harus mulai menyiapkan konsep-konsep jitu agar publik kota ini makin banyak mengenalku. Jika kita lamban, orang lain akan mendahului. Buatlah konsep dengan segala embel-embel menarik agar setiap mata melihat aku ada di situ. Jangan lagi kau bicara padaku tentang konsep facebook dan twitter itu. Otak warasku tak nalar dengan itu."
  
  "Ok. Aku akan coba gagasan lain untuk pemanasan kita. Semua yang terbaik tetap tercurahkan untuk Bapak!"
 
   Itulah Mr. S salah satu dari dua kliennya. Mr. S jenis manusia penuh lagak jika ia mulai mencuap di telpon. Namun wanita itu tak pernah serius menanggapi omelan-omelan lelaki congkak tadi. Menurutnya Mr. S belum dewasa secara politik. Baru pertama terjun ke kancah politik kota lelaki itu telah banyak mencetak keluhan. Lelaki itu selalu membangga-banggakan jubah kekayaannya serta embel-embel jabatan penting masa lalunya yang jelas sudah dilupakan orang. Ia tak memiliki pandangan baik tentang korupsi. Makrifat sosialnya sangat kering jika dituntut menyikapi kegelisahan arus bawah. Ia juga terlampau steril untuk sekedar peduli mencium kentut-kentut sosial yang berlangsung di sekitarnya. Tetapi begitulah politikus amatir, dengan segala kedudukan-kedudukan agung yang melekat, mereka merasa selalu pantas menjadi pemimpin dengan mengandalkan kedudukan itu. Politikus karbitan itu mungkin tak pernah membaca John Maxwell, bahwa setiap orang merasa mampu mengemudikan kapal, namun hanya beberapa orang yang benar-benar mengemudikan kapal.
 
  Dengan terlampau sering mencuap dan mengomel sebenarnya Mr. S hanya ingin memperlihatkan lagaknya. kadang dalam hati wanita itu menyerapahinya. jika lelaki itu merasa lebih pandai, kenapa pula masih butuh pertolongannya. Minggu lalu ia memang mempresentasikan konsep pencitraan melalui jejaring sosial kepada Mr. S. ia membuat perincian dan menjelaskan detil kerjanya. Namun sudah jelas tadi, Mr. S menampiknya. tentu wanita itu tak perlu berkecil hati dengan penolakan Mr.S Mungkin konsep politik lelaki itu masih terkontaminasi pola-pola konvensional dan cara tradisional. Kadang ia ingin mengolok Mr. S, kenapa tak datang saja ke stasiun-stasiun televisi swasta dan memborong seluruh slot iklannya.

     Beda lagi dengan Mr. B kliennya yang seorang akademisi dan banyak berkecimpung di bidang seni dan kebudayaan. Lelaki itu tidak cerewet dan menyerahkan penuh soal pencitraan dirinya apapun bentuk konsep yang ditawarkan. Tapi ia menilai Mr. B terlampau prematur mencampakkan diri ke panggung politik. Citra politik justru hanya akan mengotori nilai-nilai akademisi yang sudah melekat baik pada dirinya. Sementara, di bidang seni dan kebudayaan, lelaki itu tak banyak memiliki prestasi yang menonjol. Ia memprediksi justru kemudian akan terjadi erosi makna dengan timbulnya banyak pertanyaan di ruang publik menyoroti motivasi seorang Mr. B yang ambisi mencari kedudukan. Dengan segala retoris akademik dan postulat-postulat kebudayaannya, Mr. B tetap tak bisa membelakangi nalar politik masyarakat perkotaan yang terbuka matanya lebar-lebar bahwa siapapun yang ambisius mengincar kedudukan tentu motivasinya tak akan pernah lepas dari hasrat dan nafsu berkuasa belaka. Tapi Mr. B tak keberatan ketika ia tawarkan pada lelaki itu konsep pencitraan melalui website dan jejaring sosial. Mr. B justru menanggapinya dengan optimis.
  
  Tentu wanita itu mulai sibuk sekarang mendesain penampilan Mr. B di dunia maya. Tak hanya jejaring sosial facebook dan twitter yang diberdayakannya untuk pencitraan di dunia maya, tapi ia juga mulai merancang tigapuluh website skunder dan tiga website primer berbayar untuk membangun citra seorang Mr. B di mata publik kota. Sasarannya tentu saja warga kota pengguna jejaring sosial dan para websiter. Wanita itu telah memiliki seribu lebih akun facebook pendukung dan ratusan akun twitter di mana setiap akun telah memiliki seribu lebih teman dan pengikut. Akun-akun “rekayasa” itu terhubung ke akun facebook dan twitter Mr. B sebagai teman atau pengikut. Wanita itu pula sebenarnya yang mengendalikan akun facebook dan akun twitter Mr. B.  Status dinding dan tweet di facebook dan twitter Mr. B selalu ditulisnya seindah dan semenarik mungkin, lalu akun-akun “rekayasa” segera merespon, baik dengan like atau komentar-komentar penuh dukungan, maka tampaklah Mr. B sebagai sosok tanpa cela.

   Lalu untuk pencitraan Mr. B di website, wanita itu mendesain semenarik mungkin puluhan website sekundernya dengan display materi bacaan dan informasi-informasi menarik. Di setiap website itu ia sisipkan sosok Mr. B baik secara visual maupun verbal. Citra Mr. B yang ditampilkan tentu sebagai sosok tanpa cela: kalem, santun, cerdas, pembela kebenaran, jujur, anti korupsi, nasionalis, dan pro rakyat! Agar setiap mata tertuntun melihat website-website itu, ia manfaatkan akun-akun facebook dan akun-akun twitter rekayasanya dimana setiap foto sampul akun-akun itu ia tampilkan besar-besar alamat-alamat website sekundernya.
  
  Klimaks dari konsep pencitraan dunia maya ini ada pada desain website primer yang total dirancang sebagai website pribadi Mr. B. Di website primer ini Mr. B dicitrakan bak sosok Hamlet atau Ratu Adil sehingga siapapun websiter yang singgah akan tergetar seakan mereka melihat sosok calon pemimpin yang sangat diidam-idamkan. Agar banyak mata tertarik singgah ke website primer, di website sekunder wanita ini sangat maksimal memposting materi-materi menarik dan terhangat yang fokus isinya kemudian di-link ke website primer.
 
   Memang, bagi wanita ini, memanfaatkan kecanggihan teknologi membuat segalanya menjadi mudah. Begitulah konsep pencitraan dunia maya yang dirancangnya untuk klien. Di dunia maya segelas cuka bisa dioplos-oplos dengan sedikit tambahan gula, kecap, air jeruk, madu, hingga yang terhidang adalah jus lemon. Tapi soal efektifitas, tentu saja semua akan kembali ke nasib baik sang klien. Soal hasil akhir kembali ke faktor nasib. Wanita itu hanya berusaha menjalankan secara profesional apa yang perlu ia lakukan agar klien-kliennya tak merasa tertipu dan agar reputasinya tak ambruk.
  
  Dalam hidupnya sekarang, bisnis pencitraan yang dijalankannya itu sesungguhnya hanya sebagai intermezzo di samping bisnisnya yang lain. Dalam pikiran klien-kliennya mungkin mereka mengira ia bekerja sebagai “konsultan pencitraan publik” semata demi uang. Mereka jelas salah duga. Seandainya ia tunjukkan jumlah uang-uang yang dimilikinya kepada mereka, jelas klien-klien itu akan terperanjat. Belum lagi jika mereka tahu tentang bisnis besar lain yang kini ia kelola sendiri, sebuah bisnis berbasis online yang perputaran uangnya mencapai milyaran perhari. Dari bisnisnya yang berlabel “Queen4D” itu  ia paling tidak meraup keuntungan bersih ratusan juta per minggu. Tapi lebih dari apapun yang ia punya, tentu pada akhirnya semua akan ia dedikasikan untuk ladang persemaiannya, karena tak ada yang lebih penting dan lebih menarik baginya sekarang kecuali ladang persemaian yang tengah ia bangun.. Ia sadar, inilah saatnya untuk bergerak dan tampil menyantuni gejolak arus bawah agar kelas-kelas baru dapat bangkit untuk ia bawa ke ladang persemaiannya. Dari ladang persemaian itu kelak ia berharap akan mempunyai banyak pengikut dan pelindung.

BERSAMBUNG


Tidak ada komentar:

Posting Komentar