Di warung Mak Warjun yang teduh, seperti biasa, selalu ada segerombol
pria berkumpul dan bercakap-cakap kosong sambil minum kopi dan merokok.
Mereka itu pelanggan tetap warung Mak Warjun. Merekalah kumpulan sales
marketing dealer Fridas yang kantornya berdiri persis di belakang
warung Mak Warjun. Sudah pada galibnya, menongkrong dan mengobrol
merupakan bagian dari aktifitas sales otomotif roda dua. Tapi sales
seperti mereka sudah keterlaluan, setiap hari selalu ada dan sepanjang
hari hanya menghabiskan waktu di situ. Ada-ada saja yang enak dan betah
mereka obrolkan, kebanyakan masalah politik, filsafat, gosip-gosip
artis, atau nasib sepakbola negeri ini yang, kadang bisa diharapkan, kadang kembali ke jaman batu.
Namun lebih sering mereka hanya saling membanyol satu sama lain.
Ada-ada saja yang mereka banyolkan, yang terhangat tentu saja bagaimana
mereka memparodikan gaya bicara tengil seorang bupati egomaniak nun di
sana yang heboh karena perkawinan singkatnya dengan bocah belia
terbongkar. Mak Warjun tak pernah mengeluh warungnya ditongkrongi
sales-sales itu dari pagi hingga sore.
Sudah tradisi bertahun-tahun di
warungnya, setiap sales yang kumpul begitulah adanya. Untungnya sales
tua-muda seperti mereka selalu tahu aturan. Begitu melihat anak-anak
sekolah menyerbu warung, mereka keluar satu-persatu sambil membawa gelas
kopi masing-masing dan pindah ke bangku-bangku panjang di bawah
kerindangan pohon beringin.
Pelanggan yang tahu diri! Jean, seorang wanita berpenampilan kaya yang sedang singgah makan siang di warung itu, membatin sambil tersipu melihat tingkah-laku sales-sales itu. Tapi wanita anggun melankolik yang mengenakan baju merah casual itu melihat seorang di antara mereka bersikap agak berbeda. Sedikit jaim, laki-laki di hadapannya itu tidak menunjukkan tanda-tanda akan ikut beranjak dari kursi seperti rekan-rekannya yang lain.
“Wong edan katrok, bangun! Mentang-mentang ada cewek, heo!” Sales terakhir bertubuh bulat gelap yang bergegas keluar, iseng-iseng meledek temannya itu.
Yang diledek tak merespon. Cuek. Ia meneruskan keasyikannya menulis. Entah apa yang ditulisnya di tumpukan kertas berlipat-lipat itu. Jean yang duduk semeja di depannya hanya tercenung sambil memandang-mandangi. Akhirnya, setelah semua temannya pergi, lelaki itu melirik Jean sambil bergumam-gumam bicara sendiri.
“Dasar Bedul. Blarak gembul! Jangan dianggep, Mbak. Orang gila semua mereka itu. Orang-orang putus asa. Frustasi. Galau. Masa depan mereka mulai tak pasti.”
Segera Jean sadari laki-laki itu ternyata bicara padanya. Setengah gugup ia menimpal, “Mereka temanmu juga, kan?”
“Ho-oh sih. Setahun lalu aku juga sales seperti mereka. Tapi sekarang aku sudah coba yang lain. Aku Banting setir menjadi penulis. Yang ini agak jelas masa depannya.”
Wow! Jean menarik napas panjang. “Dari sales ke penulis, kedengarannya seksi, seperti menikung di belokan tajam. Pasti itu pilihan spektakel bagimu,” komentarnya, sambil mengedarkan pandangan ke anak-anak sekolah yang semakin ramai mengepung Mak Warjun. Sementara ia juga lihat bagaimana Mak Warjun sangat sabar dan bersemangat melayani mereka. Mak Warjun yang menyendok es dan menuangkan minuman satu-persatu ke gelas, sementara suaminya tak henti-henti memecah balok es. “Jadi penulis pasti harus banyak berpikir,” tambah Jean. “Dari keseriusanmu aku lihat kamu memang berbakat.”
Dipuji wanita yang bukan main cantik dan wanginya, ada kebanggaan membias dari laki-laki muda itu. Matanya berbinar-binar tak berkedip, mulai berani mengagumi Jean. Tanpa Jean berharap tiba-tiba ia mengulurkan tangan, isyarat mengajak Jean berkenalan. Pria-pria memang selalu begitu, tergesa-gesa mengajak setiap wanita berkenalan bila dipandangnya wanita itu menarik.
Jean menyambut tangan itu. Tanpa ragu.
Serta-merta laki-laki itu penuh percaya diri menyebut namanya. “Ellen. Namaku Ellen Marita,” katanya mantap dan bangga. Bagi yang belum tahu, ternyata nama belakang “Marita” merupakan perpaduan dari nama orang tuanya. Bapaknya bernama Marno, ibunya bernama Rosita.
“Namaku Jeani Sofi. Panggil aku Jean, ya,” balas si cantik berbaju merah.
“Bagus juga namamu,” puji laki-laki bernama Ellen itu, sumringah, sambil melepas jabat tangannya. “Orang bilang setiap nama menjelaskan karakter orangnya. Terus terang, namamu indah.”
“Ah, apalah artinya sebuah nama,” tepis Jean.
“Bagiku nama selalu punya arti,” Ellen Marita tetap mempertahankan pendapatnya. “Dari nama kita ada hal-hal mekanis ikut menyifati kepribadian kita.”
Jean mengeluarkan tisu dari tas. “Entah. Aku kurang mengerti yang begitu-begitu. Barangkali selain berbakat menjadi penulis kamu juga berbakat menjadi filsuf,” ujarnya sambil membersihkan wajah dengan selembar tisu.
Ellen tersenyum. Lalu ia tak berhenti mengajak Jean bicara ke soal-soal lain hingga keduanya mulai akrab di situ.
Sementara di bawah rindang beringin, belasan sales yang tadi sempat diolok Ellen tak punya masa depan, belum satupun beranjak dari keasyikan mereka bersantai-santai. Di situ mereka terus ngewadul sambil minum kopi serta merokok tak putus-putus. Agaknya tak ada pekerja manapun di hamparan jagat ini yang memiliki waktu luang sebanyak mereka hanya untuk bermalas-malas. Di antara mereka ada yang tampak serius, tapi beberapa wajah tampak jenaka dan suka humor, penuh lelucon dengan kesukaan meniru kalimat-kalimat seperti: Jadi gue harus jungkir-jungkir sambil bilang woow gitu!
Di situ ada sales bercelana jeans, berkemeja gelap, sedang menyandar tegak di beringin sambil merokok dengan pikiran menerawang entah kemana, namanya, tentu saja Tara. Sekilas Tara seperti lelaki kuat, kokoh, namun sesungguhnya ia lemah saat sedang gundah. Jika Tara sedang terpaku dengan banyak pikiran melayang, itu karena ada harapan sedang terbanting-banting di dirinya dan dengan terus berpikir ia coba bertarung menyelamatkan harapannya. Siang itu di mata Tara memang terpancar semacam harapan, namun pikiran bolak-balik membambingnya, terbimbang ragu antara mungkin dan tidak mungkin. Itulah Tara. Sekilas kharismatiknya memang menonjol di antara yang lain, namun tak bisa ditutupi kharismatik itu kadang timbul-tenggelam karena belakangan otaknya mulai penuh cabang. Ia sudah kehilangan fokus bekerja di Fridas. Belakangan ia sering meracau tentang ide-ide imajinernya. Tentang seni. Tentang dongeng. Tentang entahlah.
Berdiri tak jauh dari Tara, seorang sales bertubuh kurus dengan wajah manis yang lunak. Itulah Alin yang masa kecilnya pernah buruk, menderita autis, dan sembuh karena Tuhan berkehendak. Siapa mengira setelah sekian tahun dipeluk penyakit itu, Alin sekarang berpenampilan wajar dan bisa kembali ke kehidupan normal. Namun belangan, katanya, setelah penyakit itu lenyap dari kehidupannya, ia kerap dikunjungi keanehan-keanehan. Di malam tertentu ia sering mengalami halusinasi serta melihat penampakan-penampakan samar dunia astral. Bulan ini genap dua tahun Alin bekerja di Fridas.
Kemudian, seseorang yang wajahnya selalu khidmat, tampak santai menduduki salah satu bangku panjang di bawah beringin, bersiul-siul hingga tulang pipinya menonjol jelas, itu sales bernama Joe. Di wajahnya terlihat jelas Joe jenis pria yang fanatik memelihara janggut, namun itu tak ada sangkut-paut dengan mertuanya yang seorang guru ngaji.
Di sebelah Joe, duduk sales imut bernama Mori. Ia seorang FB-mania. Mori juga sosok sales yang fashionable. Ia pintar memantaskan segala pakaian di tubuhnya. Mori punya ribuan teman di facebook. Di jejaring sosial itu Mori pernah mengupdate status__ “tolong infonya dunk kerjaan yang gajinya 15 juta perbulan”__ dan segera setelah muncul banyak like dan coment bermacam-macam, ada yang iseng ikut coment di status itu__ “ada bro! tapi kerjanya di Jawa Timur. nguras lumpur Lapindo pake sedotan es __ Mori tertawa ngakak membacanya. Di Fridas baru setahun Mori bekerja.
Lalu berturut-turut ada empat sales duduk borongan di bangku lain dekat Joe dan Mori. Di situ ada sales bernama Noveri yang bapaknya seorang dalang. Noveri sedikit-dikitnya mulai pintar meniru gaya-gaya petruk dan buto cakil yang sering dimainkan bapaknya di pentas pewayangan. Sorot mata sales ini paling tajam di antara semua temannya. Rambutnya berpual-pual tak pernah diurus. Jarang mandi karena galau dan banyak pikiran.
Sales di sebelah Noveri bernama Kim. Tubuhnya bulat pendek. Wajah yang ini tidak pernah cerah, selalu ditekuk seperti donat. Belakangan hidup Kim digerogoti hutang hingga ia terlampau sering memikirkannya. Kim tak pernah sempat lagi memikirkan apapun tentang teori-teori indah hidup ini kecuali hanya menghafal rumus-rumus untuk melunasi hutang-hutangnya. Salah satu rumus untuk melunasi hutang dengan cepat yang mulai digandrungi Kim adalah sering ikut bermain toto gelap online via handphone. Sesekali menang, tapi lebih sering kalahnya. Jika bersiul kabar di telinga Kim bahwa ada sumber-sumber tempat mendapat angka jitu maka tak peduli rimbanya di entah berantah, Kim termasuk petarung tingkat dewa berkait kemampuannya menyisir kabar itu dan mencari keberadaan tempatnya tak peduli ia harus mengobrak-abrik semua alamat di kolong kota. Kim sudah berkeluarga. Anaknya dua.
Di sebelah Kim adalah Mito. Sering melamun, sering bicara sendiri, dan jika bicara sering berkias-kias menumpahkan seisi alam semesta seperti bintang, gunung, laut, bulan, hujan, mawar, kentang, kodok, matahari, kadal, kutu busuk, dan banyak lagi sekehendak hatinya. Mulut kecilnya suka menasehati tapi tidak suka dinasehati. Setiap Mito kumat dengan kata-kata bijaknya, hampir dipastikan ada sosok orang tua sedang menyurup tubuhnya.
Berikutnya, boleh dibilang inilah sales berpenampilan kurang menarik di kota ini. Hidungnya mancung, tapi ke dalam. Cara berpakaian sekenanya. Sepatu andalannya pemberian seorang teman, bermerek Mendes, tapi sudah tidak orisinil karena telah tujuh kali dipermak tukang sol. Salah satu matanya cacat. tapi Tuhan memang adil. Boman, begitulah namanya, ternyata laki-laki yang menyenangkan dan sangat dipuja seorang perempuan kampung cantik bohay bernama Lasmi yang kini menjadi istrinya. Sebelum bekerja di Fridas, Boman seorang penyiar radio. Suara seksinya yang serak-serak basah di udara, itulah yang bertahun-tahun berhasil memikat dan membuai Lasmi yang hidup di umbul pelosok nan sepi berteman radio transistor bututnya. Konon untuk mengirim salam-salaman dan request lagu, Lasmi rela berjalan kaki belasan kilometer menggapai sebuah kios telpon satelit, dan setiap ia minta lagu kesayangannya diputar yang berjudul “Suara Hatiku” dari Nike Ardila, lagu itu selalu spesial dikirimnya hanya untuk someone tersayang: Aak Boman! Dan Boman pensiun menjadi penyiar setelah radionya tutup, namun sebelumnya Boman sudah berhasil memboyong Lasmi ke kota. Anak Boman tiga, masih kecil-kecil.
Di ujung bangku, duduk nongkrong di dekat Boman, ini sales antik yang pandangannya selalu menunduk ke bawah. Ia satu-satunya sales yang mengenakan kawat gigi. Namanya Jim. Nama Jim tidak ada sangkut pautnya dengan silsilah bule. Ia genuine part Indonesia. Nama lengkapnya Jiman. Sudah dua tahun Jim menjadi sales di dealer Fridas dengan prestasi penjualan hancur. Ada penghargaan spektakuler pernah diraih Jim di malam penghargaan para bintang yang diadakan rutin setiap tahun oleh group dealer Fridas. Di salah satu malam penghargaan Jim pernah dipanggil naik panggung dan menerima bingkisan bersampul hitam untuk kategori khusus: Sales termalas dengan penjualan terkecil dan diskon terbesar. Sepulang acara, bingkisan itu dibuka di kantor. Isinya: selembar surat peringatan SP-2!
Sales berikutnya berusia 23 tahun. Masih muda. Sayang agak lamban. Wajahnya mellow dan pendiam. Namanya Vani. Di antara semuanya, Vani satu-satunya sales yang tak mau menonjol baik bertingkah-laku maupun bicara. Di usia sangat muda, Vani telah lulus melewati malam-malam gelisah pencari cinta, karena Tuhan telah memilihkan untuknya seorang wanita pendamping hidup. Di rumah, di kantor, di manapun berada, hidup Vani datar. Ia hanya ikut kemana arus teman membawanya. Keunikan Vani satu, di antara semua teman hanya ia yang memiliki tatto. Tampak tatto kecil di lengan kanannya, bergambar ikan cenang berenang.
Selanjutnya di situ ada sales bernama Kance. Tubuhnya lebih kurus ketimbang Alin. Kance tipe pria santai dan tergila-gila pada kopi. Karena kopi jua ia tak pernah mencicipi tidur lebih dari empat jam. Kance sepintas santai dan serius, namun di jidat lebar dan kepala gundulnya tersimpan sense of humor yang tinggi.
Selanjutnya jangan salah mengira, yang bertubuh tambun dan berkulit
porong dekil, itu bukan kuda nil atau genderuwo jantan, itu Dullah.
Sehari-hari sales itu dipanggil Dul. Tapi kemudian banyak yang latah
memanggilnya Bedul. Seperti dalam banyak kasus pergaulan, kepercayaan
diri orang seperti Bedul biasanya sangat tinggi, memang begitulah
kenyataannya. Di kalangan orang-orang Fridas ia dijuluki “Blarak
gembul” yang artinya jelas berkaitan dengan tingkah-tingkah mahatolol.
Dan sales terakhir yang berada di bawah pohon itu bernama Yoni. Nama lengkapnya Supriyoni. Penampilannya gendut, wajahnya boros, seboros kacamata minus yang ia kenakan. Yoni termasuk jenis joke in roll karena baginya segala sesuatu bisa dibanyolkan. Meski ingin, Yoni belum menikah. Tapi Yoni tetap bertekad, hanya wanita cantik yang layak memdampinginya. Itu sebab teman-teman yang merasa masih waras melihat Yoni seperti Man & Moon karena di tengah kelangkaan ada wanita cantik mau menikah dengan pria berwajah pas-pasan, ternyata Yoni masih memiliki mimpi-mimpi cerdas seperti itu. Dari sosok Yoni barangkali bisa dilihat bagaimana mimpi pungguk bisa begitu menarik. Sebagai sosok optimistik, Yoni selalu care akan penampilannya. Demi menjaga penampilan sehari-hari, Yoni tak pernah lupa membawa jimatnya, sebuah kaca bulat spion motor tua.
Begitulah mereka, hingga menjelang zuhur tetap tak ada satupun yang beranjak. Dan siang itu setengah lusin bungkus rokok semuanya ludes.
“Habis deh knalpot kita!” Mito yang merokoknya paling beringas mengguncang-guncang kotak terakhir.
“Gila, ini kereta apa jet? Ngebut banget!” Tara juga tak urung meremas kotak-kotak rokok yang kosong.
Bagi para perokok berat seperti mereka, rokok memang seperti obat bius. Banyak pecandu tak peduli bagaimana
rokok menjelma sebagai pembunuh mematikan. Tak diketahui kapan, di
mana, banyak orang mati sia-sia setelah puluhan tahun menjadi pecandu
rokok. Satu-satunya pilihan praktis untuk berhenti hanya menjahit
mulut.
Tara diam. Agak lama. Semua perhatian teman-teman tertuju kepadanya karena mereka tahu di balik wajah Tara yang lugas dan tampan bersemayam gudang dengan berbagai nur akal tak habis-habis. Di saat-saat kritis kehabisan rokok, sementara uang sudah tak ada, Tara selalu seperti petunjuk bagi teman-temannya. Ia tak ubah mercu suar bagi musafir yang kehabisan air di gurun. Jika lama diam, Tara memang sedang memutar otaknya. Tak butuh waktu berjam-jam. Tara akhirnya berjingkat-jingkat merapatkan kepala ke dinding papan warung Mak Warjun. Dari sebuah lubang sebesar kutil, diintipnya ternyata Ellen masih di dalam asyik bercengkrama dengan wanita kenalannya. Lalu Tara kembali memandang ke teman-temannya.
“Ada yang berani minta uang beli rokok sama Wong edan ora katoan?” tantang Tara. Wong edan ora katoan adalah julukan mereka untuk Ellen.
Serempak semuanya menggeleng. Ellen bukan seorang perokok. Wong edan ora katoan paling benci kepada segala yang berhubungan dengan rokok. Jadi mustahil ada yang sanggup menjawab tantangan Tara, kecuali ada telinga yang sanggup mendengar kotbah Ellen bukan hanya tentang bahayanya 1001 racun rokok lengkap dengan nama-nama kimianya tapi juga melebar ke masalah tata niaga cengkeh dan masalah halal-haram. Semua merinding jika berurusan soal rokok di depan Wong edan ora katoan.
Tara tak memaksa. Sesungguhnya bukan itu ide yang sedang dipikirnya. Di saat semua wajah tegang menunggu apa gerangan yang akan dilakukan sang kancil, Tara mengajak Alin menjauh dan keduanya berdiskusi.Tara menceritakan sesuatu ke Alin hingga Alin terperangah agak marah.
“Lancang. Dia nggak bilang-bilang,” omel Alin. “Memang kapan cerpen itu dimuat? Di koran apa?”
“Sudah jangan marah,” bisik Tara. “Korannya ada di rumahku. Cerpen itu baru-baru ini dimuat. Yang penting hari ini dia kita todong dulu.”
Alin setuju, walau kesal. Akhirnya mereka mengutus Joe menemui Ellen, membawa memo yang ditulis Fikar dan ditandatangani Alin, berbunyi:
Hei Katrok, etikanya begitu ya? Aku sudah baca cerpenmu kemarin. Seenaknya menulis cerita masa kecilku yang menyedihkan tanpa ijin. Tapi aku mau berdamai. Honornya kita bagi dua. Sebagai persekotnya, sekarang aku minta uang seadanya dulu. Penting! GPK. GPL. GPM.
“Apa itu tadi artinya GPK-GPL-GPM?” tanya Boman ke Fikar.
“Gak pake kotbah, gak pake lama, gak pake marah,” jawab Fikar.
Boman manggut-manggut.
Di warung, Ellen masih asik tertawa-tawa bersama Jean. Agaknya obrolan mereka makin serius. Saat Joe muncul dan menyampaikan memo yang dibawanya, mulut Ellen terkunci, tangannya gemetar, wajah memerah. Akhirnya tuntutan itu dipenuhi tanpa perlawanan dari Ellen. Sadarlah Joe, kenapa selama ini orang-orang menyebut memo sebagai surat sakti.
Joe akhirnya kembali ke pohon beringin sambil bersiul-siul. Semua wajah kembali bergembira melihat Joe membawa hasil dari misinya.
Begitulah akhirnya. Di bawah beringin rindang itu asap pun kembali mengepul. Wajah-wajah kembali bersukacita.
Kepala Mito bisa melayang-layang lagi karena rokok. “Benar juga jika dikatakan, hidup ini melodrama, rokok dan manusia seperti monopati, setiap melodrama dibangun dari monopati,” dan asap rokok itu membuatnya langsung disurup Oliver Marchand.
“Jangan ngoceh, To. Mau baca puisi pergi sana ke Taman Ismail. Atau bilang sana sama Wong edan ora katoan, kalo mau jadi aktifis rokok pergi sana jauh-jauh ke Singapura. Emang kalo dia benci sama rokok kita harus ikut? Nggak segitunya kalee…” celoteh Yoni.
Tawa pun pecah berderai-derai mendengar banyolan Yoni.
Di antara semua, Kim yang tertawanya tidak lepas. Kim memang tengah terjebak di titik kubangan tengik hutang-hutang yang merampas keceriaannya. Ia tak mengira hutang memberinya mimpi buruk. Untunglah ia belum skeptis menyikapi hidupnya. Belum terdengar ia berkata letih dan belum pernah terucap ia gentar seakan ia enggan melepas apa yang disebut bangkit dan berjuang. Sekarang keadaannya memang belum baik dan wajahnya masih muskil dari terang. Apapun keceriaan mudah luput karena hutang-hutang tengik itu lebih berkuasa di kepalanya.
“Sudah jangan dipikir terus, Kim. Siapa tahu besok kamu dapat angka toto jitu, pasang sebanyak-banyaknya biar langsung ketumpahan duit sekarung,” Yoni menepuk pundak Bokim.
“Betul. Masalah dan kekurangan hal biasa dalam hidup kita,” Mito ikut menyahut. “Saya ingat ucapan Monten filsuf Perancis, bahwa manusia sebenarnya tidak terpengaruh dengan yang terjadi tapi dia terpengaruh pikirannya sendiri tentang apa yang terjadi.”
Kim hanya diam. Memang, baginya setiap esok selalu ada harapan. Ya harapan, tentu saja buai harapan dari pasang toto gelap!
Tak terasa setelah mereka bicara kesana-kemari, terdengar bedug dan suara muazin mengumandangkan azan Zuhur. Suara azan itu menyayat hati. Cukup jelas didengar dan magis menyentuh jiwa-jiwa yang mati. Tapi tetap saja, mereka tak beranjak. Satu jam tak terasa rokok di hadapan mereka kembali ludes. Jika sudah begitu, semua kembali blingsatan dan uring-uringan.
Di tengah kebingungan teman-temannya, Fikar menyuruh Bedul dan Jim mengintip lagi ke warung Mak Warjun, melihat apakah Wong edan ora katoan masih di dalam. Satu-satunya teman yang bisa disasar memang Ellen.
Tiba-tiba Bedul berteriak. “Dia sudah pergi, heo! Nggak ada lagi!”
Kaget semuanya, maka terdengarlah suara serempak. “Siapa yang nggak ada?”
“Wong edan, dia sudah pergi! Perempuan cantik tadi nggak ada juga,” Jim berseru.
“Ah, coba tanya sama Emak,” kataTara.
Jim dan Bedul masuk ke warung. Boman mengikuti dari belakang. Mak Warjun dan suaminya sedang duduk-duduk santai.
“Mak, kemana Wong edan ora katoan?” tanya Jim pada perempuan tua itu.
“Ya pergilah, naik mobil bagus dibawa cewek tadi,” jawab Mak Warjun enteng.
“Kok bisa, Mak?”
“Ya bisa aja. Makanya kamu bertiga itu punya tampang jangan pas-pasan seperti cobek sambel!” kata Mak Warjun ketus.
Jauh nun di sana, di tepi salah satu jalan di Metropolitan Ibukota yang sesak bergelimang hiruk-pikuk kendaraan dan berjejal ragam toko, rumah makan,juga pedagang-pedagang kakilima, tampak kesibukan manusia keluar-masuk dari sebuah lorong menuju penjara tempat negara menghukum para koruptor dan pelaku kriminal kakap. Penjara itu kokoh menyerupai benteng dengan berlapis tembok tinggi bercat putih dan dikumpari kawat-kawat berduri.
Sore, di depan bangunan induk penjara yang sangat terkenal itu, tampak dua lelaki necis bertubuh besar-besar berpandangan satu sama lain saat keduanya duduk menunggu. Setelah mengisi formulir kunjungan yang disodorkan penjaga, pintu besi ruang besar pengunjung terbuka untuk mereka. Dari balik ruang bersekat kaca keduanya mendapati wanita berambut masai, beralis tebal, usia kira-kira limapuluh tahun, duduk memandang tak berkata-kata, namun dari rautnya ia kurang menyukai kehadiran pria-pria yang mengunjunginya itu. Di bawah terang lampu wanita itu menampakkan kepucatan wajahnya yang letih menderita di penjara sempit. Ia duduk menyambut dua pengunjungnya dengan liput kekecewaan. Itulah Julia Yiana, wanita yang telah dikenal, yang dikenai hukuman 20 tahun penjara karena terbukti korupsi. Setelah negara menyita banyak sekali kekayaannya, kini ia pun meringkuk, menjalani hari-harinya yang hampa.
"Nyonya Julia, maaf kami mengganggumu lagi. Aku sebenarnya tak berani mengatakan ini, tapi bagaimanapun kau harus mendengarnya, bahwa kami benar-benar telah kehilangan putrimu. Tiga tahun ini kami sudah tak menemukan jejaknya lagi," begitulah salah satu pengunjung tadi membuka pembicaraan melalui telpon pararel yang tersedia di ruang itu, sementara di depan kaca mereka duduk berhadap-hadapan.
"Oh tidak," wanita itu tertunduk dengan rona wajah pahit. Tapi di hatinya ia bicara sendiri: sampai kapanpun kalian tak akan menemukan anakku lagi manusia-manusia bodoh. Ia anakku, ia sama pintarnya seperti aku.
"Nyonya Julia, kami telah menyusuri jejaknya ke segala tempat yang pernah disinggahi putrimu, termasuk beberapa tempat di luar negeri. Sofie benar-benar menghilang. Tapi kami masih berharap pada tim yang kami kirim ke Madrid. Kami mendapat petunjuk ia terakhir berada di sana sebelum menghilang," lelaki berikutnya ikut bicara.
Wanita itu hening. Tapi ia sengaja menampakkan kecemasan pada wajahnya seakan-akan ia hancur akan kabar buruk yang didengarnya. Untuk menutupi kepura-puraannya, ia batuk-batuk panjang dan dalam. Lalu ia berucap, "Seharusnya kalian menjaga putriku dengan baik!" suaranya parau berpura-pura memberi peringatan.
Kedua pria itu sunyi. Sesaat mereka tampak berdiskusi. Kemudia pria yang berjidat licin maju lagi menghadap ke kaca.
"Nyonya Julia, apakah kau bisa memberi petunjuk pada kami? Semua sisa milikmu yang kami urus telah kami alihkan ke putrimu dan Sofie meninggalkan kami begitu saja setelah dia menguasai semuanya. Bagaimana nasib kami jika dia benar-benar tak ditemukan lagi? Tak mungkin darah dagingmu melakukan hal ini tanpa sepengetahuanmu. Bagaimana mungkin dia meninggalkanmu begitu saja. Sungguh ini pukulan buat kami. Tak pernah kami mengira Sofie yang selama ini kami jaga dan kami lindungi tiba-tiba memperlakukan kami begini."
Wanita itu memandang dengan tatap kosong. Namun ia tak ingin sandiwaranya terbongkar di depan dua laki-laki pengikutnya yang kini sudah dipandangnya tak lebih parasit. "Begitukah menurut kalian?" Ia berucap diikuti tatapan marah."
"Maaf Nyonya Julia, entah kenapa perasaan kami mulai mengatakan begitu. Kami memang sudah lancang berpendapat begini. Belasan tahun kami menjadi pengikut setiamu, baru kali ini kami benar-benar khawatir. Kami takut jika telah ditinggalkan."
Pipi Julia Yiana memerah. Ia menatap dalam-dalam dua pria di hadapannya. Lalu ia bicara penuh cemooh. "Ropan, Ayung, tidak sepantasnya kalian bicara seperti itu di depanku. Seharusnya kalian merasa bersalah karena telah gagal menjaga putriku. Di sini aku hidup pedih menjalani hukumanku. Aku lemah dan hancur, sementara kalian masih bebas menikmati segala yang telah aku berikan pada kalian. Tapi apa balasan kalian? Aku andalkan kalian menjaga satu-satunya milikku paling berharga, namun setelah aku kehilangan jejak putriku itu, kalian justru datang dengan pikiran-pikiran picik di hadapanku. Aku tahu bukan putriku yang kalian risaukan. Kalian takut kehilangan apa yang dia bawa karena kalian pun ingin memilikinya. Kalian tidak bertanggungjawab!" ekspresi wnita itu benar-benar marah untuk menutupi sandiwara yang memang telah ia atur bersama putrinya agar para parasit dan penjilat-penjilat enyah dari kehidupan mereka.
"Kami minta maaf, Nyonya Julia. Dalam hidup ini kami memang tak memiliki tempat gantungan lagi kecuali tetap setia menjadi pengikutmu," kata si jidat kelimis. "Tapi dalam keadaan ini kami merasa terpojok. Hilangnya Sofie mulai menyiksa kami. Apakah begini caranya membalas kesetiaan kami?"
Julia Yiana menatap nanar. "Ropan, tidakkah terpikir olehmu arti tanggungjawab lebih dari segala-galanya. Sementara di sini aku sangat mempercayai kalian, tiba-tiba kalian datang menjengukku dengan keluhan seperti ini. Bagaimana jika nyatanya putriku sudah menjadi mayat di luar sana. Di mana tanggungjawab kalian jika itu yang terjadi?"
Si jidat kelimis bernama Ropan itu tercenung. Ekor matanya melirik Ayung, teman di sampingnya. Dua pria itu menunduk dengan wajah terlipat. Udara penjara tiba-tiba terasa pengap bagi keduanya.
Sepulang dari menjenguk Nyonya Julia Yiana, Ropan dan Ayung saling berdebat. Tapi di rumah Ropan yang megah, disaksikan puluhan pengikut setia mereka, keduanya kembali menyatukan pendapat.
“Kita sepakat. Mulai hari ini hubungan kita dengan Nyonya Julia berakhir. Jalang itu telah mempermainkan kita. Aku yakin dia dan putrinya telah berkonspirasi meninggalkan kita. Sekarang fokus kita mencari putrinya. Harta yang dikuasai Sofie harus menjadi milik kita. Tunggu saja, mudah-mudhan Yola membawa kabar baik dari Madrid.”
“Justru aku mencemaskan Yola,” timpal Ayung. “Kita tahu, dia beda. Dia paling awal menjadi pengikut Nyonya Julia. Aku khawatir kesetiaannya tidak bisa kita pengaruhi dengan apapun.”
Ropan memandang dingin ke rekannya. “Kita tunggu saja tim itu pulang. Aku punya firasat mereka berlima berhasil menemukan hasil yang kita harap. Lalu, mudah saja kita melenyapkan mereka.”
Ayung hening. Tapi tak lama ia menyetujui rencana-rencana itu.
BERSAMBUNG
Tidak ada komentar:
Posting Komentar