Di mana kebahagiaan ditemukan di panggung bergelombang kota ini?
Di rumah mungil beratap asbes yang teronggok di tepi parit jalan dan
menghadap langsung ke sebuah bangunan Sekolah Dasar itu, tanda-tanda
kebahagiaan tampak sama muskilnya. Di rumah dengan desain unik itulah
Tara tinggal bersama ibunya. Ayahnya sudah lama meninggal. Di rumah
berdinding papan putih dan berpintu merah seadanya itulah Tara melewati
berbagai suka dan duka.
Melihat keadaan rumah Tara tentu seperti melihat sebuah kosabangun
rumah asal jadi, tidak khas, tidak pula pantas disebut konsep
minimalis, dan jauh dari realis seni, seolah tempat tinggal itu hanya
dibangun berdasar konsep psikologi depresi mengingat bentuknya yang
magis, ganjil, degil. Rumah itu sudah berkali-kali dirombak, dan
bentuk terakhirnya memang rancangan yang mengikuti selera Tara sendiri
hingga maklum saja jika modelnya jauh menyimpang dari rumus baku para
arsitek bangunan. Entah akibat dari kontur tanahnya yang berubah, entah
konsep pondasinya yang salah, tampak jelas rumah itu miring ke depan.
Melihat rumah itu dari depan seperti melihat sebutir kepala manusia
bertopi sedang menunduk. Keinginan Tara untuk memiliki sebuah bentuk
rumah nyentrik tampak pula pada adanya dua jendela simetris di
fasad dinding kiri dan kanan, sehingga jika dua jendela itu dibuka
bersamaan seakan-akan tampaklah tampilan dua daun telinga. Untuk
melengkapi ketengilannya, daun pintu depan yang diletakkan di tengah
sengaja dicat merah tomat hingga menyerupai hidung panjang. Mungkin
belum pernah ada kerancuan konsep arsitektur tropis paling sesat kecuali
pada bentuk rumah itu. dengan konsep rumah itu seolah Tara ingin
menaklukkan keterbatasan. Memang, meski bentuknya seperti kubus, seperti
kerucut, seperti bola sekalipun, rumah tetaplah rumah. Tapi mewakili
model rumahnya Tara seakan telah berpuisi: rumahku mengiris kemapananmu, aku tidak dijajah rumahku, akulah yang menjajah!
Tara selalu bangga dengan bentuk rumah yang dibangun ulang di
atas tanah peninggalan bapaknya itu. Kadang-kadang ia sering merenung
secara menarik bahwa rumahnya merupakan adukan mind, memperpadukan
keterbatasan dan kreatifitas. Tara tak apatis meski rumah itu buruk,
sempit, atau aneh. Para tetangga sesekali menegurnya, tapi Tara selalu
menjawab bahwa rumah itu sengaja dirancang sesuai selera. Soal selera
tak perlu diributkan. Rupa, ekor, atau warna kuda tak perlu didebatkan.
Naikilah kuda masing-masing dan mengembaralah ke tujuan masing-masing.
Belakangan pertanyaan-pertanyaan itu tak pernah muncul lagi karena para
tetangga selalu kalah dan mundur jika berdebat dengan Tara. Tentu saja,
mereka kalah dan mundur karena prihatin dan haru.
Malam itu di rumahnya Tara baru saja selesai menunaikan sholat Isya.
Namun ia belum terburu-buru beranjak dari sejadahnya. Ia tetap duduk.
Hening dan tafakur. Di luar rumah lapat sepoi angin terdengar bersamaan
dengan terdengarnya riap-riap riuh rerindangan daun pohon yang tumbuh
menjulang di belakang rumah. Di kamarnya Tara tetap lelap dalam hening,
lebur dalam doa yang hanya diucap lewat batinnya:
Subhannakallahumma,
aku berlindung kepada Engkau dari anarki kehidupan yang melemahkan aku, ibuku, teman-temanku
aku mohon ampunanMu pada barangsiapa kami berdosa
aku mohon perlindunganMu pada apapun kami tak berdaya
aku mohon pertolonganMu pada tiap-tiap kami berikhtiar dan berharap
aku mohon kesabaran dan syukur tetap bersama kami ketika Engkau menguji kami
sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui hasrat-hasrat setiap hambaMu
Alhamdullillahirobbilalamin...
Setiap Tara khusuk berdoa, detik itu ia seperti guncang,
seperti menyerah, dengan perasaan seperti berlayar meski tak paham apa
yang membawanya. Kemudian Tara hanya merasa wajah dan matanya lembab.
Usai berdoa Tara meninggalkan kamarnya. Ia tak harus berpakaian serba putih untuk menghadap Penciptanya. Doa adalah avonturir
batinnya dengan Sang Khalik--penghambaan--jadi tak perlu lagak dan
merupa. Lagak dan merupa acap hanya membuat laku manusia merasa lebih
besar dari Tuhan itu sendiri.
Ketika duduk di hadapan ibunya, Laila, Tara dapati wanita
sederhana lanjut usia itu sedang sibuk menyiapkan dagangannya untuk
esok. Di Sekolah Dasar di depan rumah, perempuan itu memang membuka
kantin kecil-kecilan, sekedar berjualan jajanan anak-anak.
Dari luar kehidupan Tara dan ibunya selalu tampak baik-baik
saja. Para tetangga tak pernah mendengar ada masalah serius di rumah
mungil itu. Tetapi namanya kehidupan, masalah sebenarnya selalu ada,
timbul-tenggelam seperti buih laut, namun Tara dan ibunya adalah
sosok-sosok yang selalu pandai menyembunyikan masalah. Tiap masalah bisa
diminimalkan jika setiap manusia legowo dan mengembalikannya
lagi pada realita sikap hidup apa adanya. Masalah adalah produk pikiran
dan hasrat yang kemudian saling bertali-temali dengan hukum
sebab-akibat. Sudah sekian bulan tak jelas lagi status pekerjaan anaknya sebagai
sales, ini juga sebetulnya masalah bagi Laila. Tapi perempuan tua itu
tak pernah merewelkannya. Laila tak pernah berkehendak melawan keadaan
di atas bumi yang sifatnya hanya sementara ini. Hidupnya mengalir
seperti air. Laila memaknai hidup ini selalu dengan cara pandang yang
sederhana. Baginya hidup hanyalah pelayaran waktu yang tak bisa diatur
mutlak oleh navigasi manusia. Biarlah menjalani hidup apa yang
sebenarnya saja sebab nasib adalah satu-satunya tujuan pasti yang sudah
disepakati sebagai pelabuhan tujuan. Jika hidup digariskan indah,
biarlah ia indah pada waktunya. Banyak orang patah asa dan bingung
karena mereka mengira pelayaran hidupnya bisa diatur mutlak oleh
navigasi kehendaknya sendiri. Timbullah kekecewaan, kefatalan, ketika
manusia tak menjadi seperti apa yang diinginkannya. Dan sering terjadi,
banyak manusia menghukum atau membelenggu dirinya sendiri, ketika ia
berusa menjadi seperti apa yang orang lain inginkan. Jika Laila
merewelkan keadaan anaknya, ia berpikir itu hanya akan menghukum Tara.
Barangkali dalam falsafah jawa inilah yang disebut nrimo. Tapi nrimo bukan pasrah. Dalam pasrah tak ada lagi kehendak meski ada harap. Dalam nrimo masih ada kehendak, namun tak memaksakan kehendak. Prinsip nrimo adalah bagaimana idealnya manusia hidup berdasarkan konsep Tuhan.
Laila memang tak pernah memaksa anak semata wayangnya harus jadi
macam-macam. Telah berhasil menyekolahkan Tara hingga duduk di bangku
akademik, meski tak lulus, sudah cukup memuaskannya. Tak berharap Laila
anaknya harus kaya atau sukses setinggi langit. Setiap manusia sudah ada
maqam mutlak. Soal akan jadi apa ia, akan sesukses apa ia, kapan
ia kekurangan, kapan ia kaya, kapan ia melarat lagi, kapan kariernya
melejit menjadi pejabat, atau kapan tangannya harus diborgol karena
korupsi, itulah langgam hukum sebab-akibat ketika dengan nafsunya
manusia ingin melampaui maqam mutlaknya. Apapun sepak terjang manusia, ia akan kembali ke maqam mutlaknya, sekalipun dalam keadaan hina.
Tara segera tampil membantu kesibukan ibunya. Satu jam setelah
selesai, Tara bergegas ke dapur membuat sendiri kopi untuknya. Lalu ia
menyendiri di depan rumah. Di depan rumah itu ia membawa beberapa lembar
kertas oretan. Itulah kertas konsep yang belakangan mulai
menyibukkannya. Di kertas itu kemudian ia tulis apa saja yang ia
pikirkan.
Memang aneh, seumur-umur Tara sebenarnya tak pernah tertarik
mengkonsep sesuatu. Bahkan ia sebenarnya paling malas menulis. Tapi
sejak ia mengenal Andien tiga bulan yang lalu, dan sering menyaksikan
pertunjukan-pertunjukan dongeng wanita itu, infuls pemikirannya berubah
dan seketika menimbulkan minat baru dalam dirinya. Berkait dengan
keahlian Andien berdongeng, Tara serta-merta tergagas sesuatu. Sesuatu
yang memang tidak biasa untuk ukurannya. Tara sangat tertarik setelah
melihat profesi pendongeng seperti yang dijalankan Andien. Tara tertarik
setelah ia melihat betapa khasnya keindahan cara hidup seorang
pendongeng seperti Andien. Hidupnya mengalir tak terikat, bebas, tapi
punya daya yang menggetarkan. Mereka laksana mercu suar di tengah
anak-anak, menghibur dan menjual kegembiraan. Tara tergagas setelah
melihat semuanya. Seolah ada sebuah ledakan quantum di kepalanya,
ia tergagas ingin mengembangkan pertunjukan dongeng Andien ke medium
pertunjukan yang lebih besar di mana ia ingin ikut terlibat di dalamnya.
Pernah suatu malam Tara pernah mengunjungi rumah sewa Andien.
Malam itu Andien sedang berlatih. Wanita berambut pendek dan berbibir
sensual itu duduk di lantai yang hanya beralas tikar, dan wajahnya
serius sekali saat berlatih keras.. Andien berlatih keras mungkin ia
akan menghadapi sebuah pertunjukan penting. Kedua tangannya memegang dua
boneka besar. Di kepala ia kenakan juga sebuah topi bebek yang lucu.
Andien rupanya selalu menguasai materi dongeng yang akan dipentaskannya.
Disaksikan Tara, wanita itu bolak-balik bicara sendiri bersama
boneka-bonekanya. Ketika boneka harimau di tangan kirinya bicara, suara
Andien berubah berat dan menggetarkan. Saat kancil di tangan kanannya
yang bicara, suaranya terdengar lemah-lembut tapi penuh akal.
Kadang-kadang boneka bebek di kepalanya ikut bicara, maka suara Andien
berubah sengau: wek wek wek!
Begitulah Andien si pendongeng itu. Malam itu, Tara yang datang
mengunjunginya, hanya terpaku khusuk, sambil ikut duduk bersila. Andien
baru berhenti setelah latihan dongengnya selesai.
"Great!" Tara memberinya tepuk tangan.
Andien hanya tersenyum. "Pernah dengar dongeng yang aku bawakan tadi, Mas?"
Tara menggeleng. Dalam hati ia berkata: aku tak pernah kenal dongeng karena masa kecilku sangat tak bahagia, An!
"Oh ya, bagaimana dengan rencanamu, Mas? Masih tertarik dan
optimis mengembangkan pertunjukan dongengku ini?" tanya Andien lagi. Ia
kemudian tak sungkan mencomot rokok dan membakarnya di depan Tara.
"Tetap optimis, An. Aku sudah mulai membayangkannya. Bahkan aku mulai membuat konsep. Aku harap kamu tidak keberatan."
"Aku sih tidak keberatan. Apalagi katanya Mas Tara akan ikut
melibatkan semua teman-teman Mas, maka akupun sudah bisa
membayangkannya," Andien menghembuskan asap rokoknya ke udara.
"Moga bisa terwujud ya," Tara malam itu hanya memperhatikan
tingkah-laku Andien, wanita yang punya kehidupan seperti tak pernah
memikirkan apa-apa lagi kecuali dunia dongengnya. Betapa menyenangkan ia
hidup, pikir Tara.
Andien menghembuskan lagi asap rokoknya. "Aku ikut optimis
akhirnya, karena aku lihat di sini dunia hiburan untuk anak-anak memang
masih mungkin untuk dikembangkan. Percayalah, aku juga mulai ikut
memikirkan gagasanmu, Mas."
Ucapan itulah yang menjadi semangat bagi Tara.
BERSAMBUNG
Tidak ada komentar:
Posting Komentar